Selepas sarapan aku bersiap untuk pergi lanjut mengurus akta kelahiran sepasang kakak beradik di asrama. Setelah proses yang cukup panjang dan berbulan-bulan aku berharap urusan ini segera selesai. Di tengah Pandemi ini semua menjadi serba online, pun mengurus akta. Dua hari yang lalu aku menghubungi pihak dispenduk dan mengirim berkas. Berharap berkas yang kukirim tidak ada salah dan bisa langsung di proses. Namun ternyata masih ada berkas yang kurang dan akta tak bisa diproses.
Aku memutuskan untuk pergi ke desa dimana kedua gadis itu berasal. Menemui saudara untuk meminta bantuan dan ke kantor desa untuk meminta form yang kurang. Hari ini setelah semua proses panjang itu, aku berencana ke desa untuk meminta tanda tangan kades, singkatnya syarat akhir semua berkas akta itu. Aku mengajak sang adik yang berumur 11 tahun, kami mengunjungi rumahnya untuk meminta tanda tangan dari sang ibu yang tinggal sendiri di rumahnya. Sebenarnya cerita ini bermula dari sini.
Rumahnya masuk di sebuah gang kecil, di penghujung ada dua rumah milik pakde dan nenek gadis itu. Rumahnya tepat berada di belakang kedua rumah tersebut. Kami memarkir sepeda di depan rumah nenek, rumah yang di cat hijau dan putih itu seperti baru di cat, dan rumah dalam tahap renovasi.
"Assalamualaikum" gadis itu mengetuk pintu rumahnya.
"ibu ada gak ya ? tanyaku cemas
"gatau mbak, harusnya ada, Assalamualaikum.."
"Walaikumsalam" suara sang ibu samar terdengar.
"Alhamdulillah, ibu ada di rumah dek". (Aku sudah berfikir jika tidak ada aku akan kembali lagi nanti dan baru besok bisa melanjutkan ini semua).
"Nduk," sapa ibu melihat gadis tersebut lalu melihatku "Mbak Citra, masuk mbak silahkan"
"Nggih bu"