Lihat ke Halaman Asli

Citra Amelia Putri

Bekerja untuk Bermanfaat - Bukan Penulis Ulung!

Dampak "Panic Buying" bagi Ekonomi, Bijaklah dalam Menghadapinya!

Diperbarui: 7 Juli 2021   12:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: cnnindonesia.com

Dilansir dari laman wikipedia, Panic buying adalah tindakan membeli barang dalam jumlah besar untuk mengantisipasi suatu bencana, setelah bencana terjadi, atau untuk mengantisipasi kenaikan maupun penurunan harga.

Panic buying sering diartikan sebagai kepanikan dalam membeli, atau melakukan penimbunan barang karena rasa takut.

Terjadinya panic buying biasanya karena dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, mereka takut jika tidak membeli sekarang, bisa jadi besok harganya akan naik. Kedua, jika mereka membeli besok, dikhawatirkan barangnya sudah habis.

Lalu, apa yang akan terjadi?

Penimbunan, tepat sekali. Panic buying akan memicu pada perilaku menimbun barang. 

Ketika hal tersebut terjadi, maka akan berdampak pada kenaikan harga yang siginifikan.

Sebagai contoh, di awal tahun 2020 terjadi panic buying pada masker, handsanitizer, dan alat kesehatan lainnya. Ketika masyakarat terus menerus membeli barang dengan jumlah yang bisa dikategorikan "gila". Maka otomatis stok barang tersebut menipis.

Mirisnya lagi, hal tersebut sengaja tidak dibarengi dengan penawaran yang banyak. Maka terjadilah kenaikan harga yang jauh dari kata normal. 

Tragedi tersebut nyatanya terulang lagi di 2021. Kali ini yang menjadi primadona panic buying adalah susu "bear brand". Per 3 Juli 2021 lalu, brand susu tersebut viral di mana-mana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline