Lihat ke Halaman Asli

Mengayuh Peluh

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku bertanya pada pagi, dan dia menjawab dengan garang, "Bekerjalah, berhentilah mengeluh!". Aku pun kembali menggerakkan kaki dan tanganku, mengayuh peluh dalam ganasnya mentari pagi. Kini pagi tak lagi sejuk seperti dulu. Heran tapi tak juga sontak terkejut, semua menjadi biasa saja, ulah manusia, membuat mentari ini menjadi aneh dan menyiksa. Tapi aku juga manusia, sama brengseknya.

Siang menjelang, menyapaku dengan panas. Tapi tak apalah, toh panas malah membuatku semangat. Untuk terus bekerja dan mengasihani diri sendiri. kukayuh lagi asaku. kugarap lagi mimpiku, berharap menemukan undian di tepi jalan. Satu Milyar mungkin?! Ah tak usah muluk2, hari gini, dapat undian 50ribu saja sudah girang. Banyak sekali manusia di luar sana yang suka menipu. Mereka lihai sekali memanfaatkan harapan tinggi kaum papa seperti kami (baca : aku). Aku berteriak pada alam, apakah kalian mengutukku? apakah kalian menikamku sekarang? dosa apa? salah apa aku pada kalian? atau aku terlalu berdosa?. Tak dinyana, siang menjawab kegelisahanku, " Semua adalah ulahmu, apakah kamu akan memperbaikinya?". Bagus, ujarku dalam batin, aku bertanya namun kini kau menjawabnya dengan pertanyaan.

Sore telah menampakkan cantiknya. Senja mulai tersipu2 datang membelai mata hatiku. Aku selalu cinta pada senja. Satu2nya hal yang membuatku terus bertahan hidup adalah aku ingin terus melihat sandyakala di ufuk senja. Hangat sinarnya, memelukku, memeluk jiwaku yang telah lama mati. Mati bukan karena kurang makan atau bahkan minum, tapi karena tak ada seseorang lagi yang membelaiku secara nyata. Dia telah pergi. Jauh dan lama sekali. Meninggalkan aku sendiri dengan harapan semu. Hingga tak hanya senja yang kunanti, usiaku kini juga menjadi senja. Temaram, bahkan gelap seperti malam.

Ah begitu rindunya aku pada malam. Saat di mana tubuh ini bisa berbaring, bermanja dengan ranjang serta membenamkan seluruh harapan dan asa. Malam selalu membuatku tenang, dia tak pernah protes dan marah2 padaku. Kutatap dinding reyot kamar, layangkan pikirku dan berbisik, "Sampai kapan?"




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline