Secuil kebahagiaan yang suka menginjak-injak.
Eksibisi paling gila dalam hidup, dalam jubah usang pengorbanan.
Kata maaf terlampau sering terucap dalam teriak.
Merelakan diri demi secuilsajakebahagiaan.
Selat itu sudah sering ku seberangi.
Di sana, dialah si penunggang kapal, kapal penghubung tanah yang selalu ramai.
Sekarang, hanya tersimpan sebatas remah-remah nostalgi.
Pemakaman terluas bagi para pencari damai.
Apa pentingnya bagimu bila aku mengutarakan perasaan yang tersakiti padamu?
Apa ada pedulimu kepada hal realistis?
Kemesraan adalah konflik, itu saja?
Tiang-tiang kesetiaan yang ku bangun, terlihat matamu?
Aturan-aturan tentang keintiman, drama dan masa lalu, belum puaskah kamu?
Komposisi terbaik butuh kompensasi termahal.
Sedangkan kamu hanya perlu membayarnya dengan harga yang paling murah.
Apakah demi hal itu harus terlebih dulu diriku terjagal?
Agar kamu mau sekedar membuang ludah.
Sendu, mendung dan kelabu.
Tepat di saat terbunuhnya sang nafsu.
Potret asing tentang diriku.
Dalam sentuhan egomu.
Apakah itu?
Bila cinta adalah hujan, dan rindu adalah angin, apa itu terang?
Bila cinta adalah kemarau, dan rindu adalah gerimis yang mendatangkan pelangi, benci itu apa?
Jawabannya tercipta lebih awal dari mulut api prasangka.
Pengulangan bait lagu lama.
Terlalu prematur dan membosankan?
Dalam mimpiku seekor beruang besar menggigitku dari belakang dengan gagah.
Taringnya rapat dan lebih muda.
Kepala inidiinjak pula hingga berdarah-darah.
Kau hanya terduduk sambil berkata "lupa".
#citra_autisimo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H