Indonesia adalah salah satu negara dengan luas wilayah terbesar di dunia, yakni dengan luas wilayah mencapai 1.919.440 KM2. Dengan wilayah negara yang sedemikian luasnya, negara kita tetap merupakan negara satu kesatuan: Republik Indonesia. Dalam menjalankan pemerintahan, Indonesia menerapkan sistem desentralisasi yang diimplementasikan dalam bentuk otonomi daerah.
Sistem hubungan pemerintah pusat-pemerintah daerah ini pada mulanya diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974. UU tersebut merupakan penjabaran dari amanat UUD 1945 Pasal 18 ayat (2) yang menyatakan “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Namun dalam praktik yang terjadi pada masa itu adalah sistem sentralisi (kontrol dari pusat) masih dipergunakan secara dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan di Indonesia.
Usaha serius untuk melakukan desentralisasi terjadi setelah rezim orde baru tumbang dan berganti dengan orde reformasi. Pada masa itu, pemerintah Habibie memberlakukan hukum desentralisasi baru untuk menggantikan UU No. 5 Tahun 1974, yakni dengan memberlakukan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Undang-undang otonomi daerah kemudian disempurnakan kembali dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Setelah itu terjadi kembali beberapa perubahan dalam UU otonomi daerah. Namun perubahan tersebut meskipun penting namun tidak bersifat substantif dan tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap tata cara penyelenggaraan pemerintah daerah karena hanya berkaitan dengan dengan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah merupakan sistem perpanjangan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan pemerintahan sendiri di wilayahnya.
Sistem otonomi daerah diharapkan mampu membangun negara secara lebih efisien karena implementasi pembangunan dilaksanakan di daerah secara langsung. Dengan kewenangan yang diberikan pemerintah pusat ke pemerintah daerah harusnya dapat memberi layanan kepada publik dengan lebih baik karena pemerintah berada lebih dekat dengan masyarakat. Pun, sistem desentralisasi atau otonomi daerah ini mendukung demokrasi sehingga memunculkan pemimpin pemerintahan baru yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mencari sumber pendapatan, sehingga diperoleh Pendapatan Asli Daerah. Selain itu pemerintah daerah juga mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat berupa transfer ke daerah yang dianggarkan dalam APBN untuk membantu mendanai kebutuhan daerah dalam melaksanakan desentralisasi. Disebutkan dalam UU No. 33 Tahun 2004 dan PP No. 55 Tahun 2005 Dana Perimbangan ini terdiri atas tiga macam, yaitu Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH).
Menurut UU No. 33 Tahun 2004, DAU adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU diberikan pemerintah pusat untuk membiayai kekurangan dari pemerintah daerah dalam memanfaatkan PAD yang dikumpulkannya.
Dana perimbangan tersebut diperuntukan untuk (i) menjamin terciptanya perimbangan secara vertikal di bidang keuangan antartingkat pemerintahan. (ii) mencapai terciptanya perimbangan horizontal di bidang keungan antarpemerintah di tingkat yang sama. (iii) menjamin terselenggaranya kegiatan-kegiatan tertentu di daerah yang sejalan dengan kepentingan nasional.
Penerapan otonomi daerah bukannya tanpa dampak negatif. Ada terdapat dampak yang ditimbulkan dari penerapan sistem ini. Dalam menjalankan pemerintahan daerah, setiap pemerintah daerah diberikan wewenang untuk mengelola keuangan daerahnya masing-masing. Hal ini memungkinkan pemerintah daerah melakukan kecurangan karena kurangnya pengawasan dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah juga dapat berpotensi melakukan tindak Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Keberadaan ‘dinasti pemerintahan’ dalam beberapa pemerintah daerah di Indonesia yang beberapa waktu lalu ramai diberitakan juga merupakan satu poin minus bagi sistem desentralisasi atau otonomi daerah. Dengan terjadinya nepotisme memungkinkan para pemimpin daerah untuk melakukan ‘kongkalingkong’ dalam melakukan anggaran keuangan pemerintahannya, sehingga dana perimbangan yang seharusnya digunakan untuk membangun daerah malah hanya dinikmati oleh beberapa kalangan.
Otonomi daerah gagal memperkecil kesenjangan ekonomi antardaerah (horizontal imbalance). Munurut Dahnil Anzar Simanjuntak dalam republikaonline.com pada Februari 2013, setidaknya ada dua hal yang menyebabkan ini terjadi. Faktor pertama, lemahnya konektivitas dan harmonisasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kondisi tersebut diperburuk oleh permasalahan domestik konektivitas antar-kabupaten/kota di dalam satu provinsi yang lemah dan tidak jelas. Faktor kedua, pengelolaan keuangan negara dan keuangan daerah yang bermasalah, seperti Dana Alokasi Umum (DAU), misalnya, yang tujuan utamanya untuk memperkecil kesenjangan fiskal antardaerah, faktanya justru memperlebar kesenjangan karena lobi-lobi pemda ke DPR dan pemerintah pusat malalui kementerian keuangan untuk mempengaruhi besaran DAU yang bisa diterima.