Pemandangan sosial naik Kereta Api sebelum pak Jonathan menjadi menteri Perhubungan dan sesudah beliau menjadi menteri ada perbedaan yang lumayan jauh. Perbedaan tersebut lebih nampak pada campur baurnya penumpang dengan non penumpang di dalam gerbong kereta dalam berbagai label sosial. Kondisi ini paling terasa pada kereta jenis Ekonomi. Kelompok non penumpang bisa berupa penjual minuman, makanan kecil sampai pada penjual nasi pecel gendong.
Betapapun mereka adalah pelaku ekonomi yang ingin mengais rezeki dari penumpang dalam perjalanan yang relatif lama. Terkadang saat tidurpun ada penjual yang nekat membangunkan penumpang. Setiap kereta berhenti sesaat di stasiun penghubung, gelombang mereka naik turun kereta sangat terasa. Sampai-sampai penumpang yang mau turun maupun yang naik kereta harus berdesakan dengan mereka. Kondisi demikian diperparah oleh pelaku kriminal, seperti copet yang memanfaatkan kondisi berjubelnya penumpang dan non penumpang dikisaran pintu kereta.
Selain beberapa pelaku ekonomi tersebut, ada juga kelompok pengais rezeki yang tidak kalah hebohnya. Mereka selalu hadir di setiap kereta berhenti sementara di stasiun untuk menurunkan atau menaikkan penumpang. Ada bapak-bapak, ibu-ibu, bahkan remaja baik putera maupun puteri. Kelompok ini juga tidak mau ketinggalan untuk ikut-ikutan mengais rizki. Bedanya mereka tidak membawa barang dagangan, namun mereka membawa alat-alat tertentu, misalnya sapu, kemucing, sikat sepatu, kaleng koin, gitar atau alat musik yang penting bunyi. Siapa mereka? Mereka adalah orang-orang yang berprofesi sebagai tukang semir sepatu/sandal, pengemis, pengamen, dan tukang sapu lantai Kereta disingkat (TSLK).
Ketika mereka hadir di dalam kereta menyatu dengan penumpang, makin sempurna pemandangan yang dapat dinikmati. Yang pasti ada perlombaan saling menawarkan jasa masing-masing, baik melalui lisan maupun aktivitas langsung. Tidak mustahil, ada juga yang memaksakan minta uang seusai menyanyi atau menyapu. Lucunya sandal dan sepatu yang terlepas dari kaki pemiliknya, tidak luput juga "disikat dan disemir paksa".
Profil Mereka
Agar melengkapi pengalaman empiris penulis terhadap empat kelompok sosial di gerbong kereta api Jakarta-Kutoarjo, sekilas ingin dipaparkan tentang profil singkatnya. Paparan profil mereka sebagai berikut:
1) Tukang Semir Sepatu/Sandal
Pelakunya pada umumnya adalah bapak-bapak paroh baya dan remaja. Alat yang mereka bawa adalah Semir merek Kiwi, kaim tipis, dan sikap sepatu warna hitam, terkadang ada yang putih kayu. Cara menawarkan jasanya, biasanya mendekati bapak-bapak yang diketahui memakai sepatu atau sandal kulit. Bahasa promosi yang dipakai biasanya agar sepatu mengkilap, namun pada umumnya hanya berkata "semir sepatu, semir sepatu, semir, semir". Cara pakaian mereka lumayan bersih.
2) Pengemis
Untuk kelompok sosial ini, pelakunya ada anak-anak usia sekolah (baik laki maupun perempuan), bapak-bapak yang agak tua, dan ibu-ibu yang juga kelihatan tua. Sebagian mereka ada yang membawa kaleng koin untuk wadah uangnya. Namun sebagian besar menggunakan tangan. Bahasa yang dipakai biasanya " minta pak, minta buk". Kalimat itu sering dipakai para pengemis yang berstatus anak-anak. Untuk bapak-bapak dan ibu-ibu, biasanya hanya mendekatkan kaleng koin ke depan penumpang atau dengan tangan kosong (Bahasa Jawa: Ngathung). Pakaian yang dikenakan lusuh dan terlihat kotor.