Bulan syawal menjadi magnet tersendiri dalam urusan silaturahmi dan saling memaafkan. Di negeri kita tercinta, silaturahmi sudah menjadi budaya yang sangat berakar dari semua lini maupun semua level. Di sini ada silaturahmi, di situ ada silaturahmi, di sanapun juga ada silaturahmi. Itulah yang menjadi cirikhas bulan syawal.
Maka tidak berlebihan jika dikatakan Syawal adalah bulan silaturahmi dan saling memaafkan. Hal tersebut tidak lepas dari peristiwa besar yang terjadi sebelum bulan syawal yaitu bulan ramadan. Bagi masyarakat kita ramadan sepertinya dipandang sebagai aktivitas rohani yang luar biasa. Sebab harus dijalani selama satu bulan penuh. Menjalani puasa ramadan sebulan penuh dianggap sebagai bentuk perjuangan panjang dan melelahkan. Sebab selain berpuasa di siang hari, juga harus mengikuti rangkaian ibadah lainnya di malam hari.
Resonansi Idul Fitri
Idul fitri menandai awal bulan Syawal. Idul fitri dilihat secara ubudiyah yaitu menjalankan salat dua rakaat dan diisi dengan kutbah idul fitri. Namun secara sosiologis, idul fitri dimaknai sebagai hari kemenangan. Idul fitri juga dimaknai hari kebebasan (merdeka), sebab pada saat itu sudah dibebaskan untuk makan dan minum. Bahkan malah dilarang secara syar'i untuk berpuasa.
Aktivitas ubudiyah berhenti tanggal 1 syawal pada salat idul fitri, namun setelah salat idul fitri, muncullah resonansi social-budaya di masyarakat yaitu kegiatan silaturahmi. Bahkan ada masyarakat yang merayakan hari kemenangan sampai satu bulan penuh. Adapun kemasan silaturahmi yang digunakan biasanya acara halal bi halal atau saling memaafkan.
Resonansi sosiologis tidak hanya berhenti pada kegiatan silaturahmi personal dalam bentuk sungkeman anak ke orang tua, yang muda kepada yang lebih tua, antar tetangga dekat, namun akhirnya juga terelaborasi ke dalam berbagai struktur masyarakat dan dari berbagai peran maupun status yang dimiliki, baik yang bersifat sosio-informal baik yang bersifat geneologis, kulturil maupun instansial.
Kegiatan sosial-informal geneologis biasanya berkaitan dengan langkah menghimpun orang-orang yang berasal dalam satu silsilah (trah atau bani). Adapun yang bersifat kulturil dilakukan melalui silaturahmi antar tetangga, pertemanan, komunitas,dll. Sedangkan yang bersifat instansial pada umumnya dilakukan dengan menghimpun semua personal yang dianggap sehari-hari bertemu dalam satu wadah atau instansi (baik pemerintah maupun swasta). Bahkan untuk melengkapi kegiatan diadakan kegiatan siraman rohani dengan mendatangkan ustadz atau ustadzah. Selanjutnya kegiatan diakhiri dengan saling berjabat tangan untuk saling memaafkan.
Dengan demikian idul fitri bagi masyarakat kita, tidak saja bermakna ubudiyah yang bersifat ilahiyah, namun juga dielaborasi sebagai bentuk ibadah yang bersifat insyaniyah. Kegiatanya silaturahmi, namun isinya saling memaafkan. Simbol-simbol sosial yang dipakai juga bermacam-macam. Ada yang menyebut "kosong-kosong", "sepuro-sepuroan", "maaf-maafan". Yang lazim disampaikan di masyarakat adalah "mohon maaf lahir dan batin".
Syawal bulan Silaturahmi dan Saling Memaafkan?
Bisa dijawab singkat "Ya". Mengapa? Sebab di bulan ini ada terjadi interaksi social yang merata di semua lapisan masyarakat dalam skala nasional baik individu dengan individu, individu dengan kelompok maupun kelompok dengan kelompok. Lapisan masyarakat tersebut bukan saja antar sesama muslim, namun sudah melintasi wilayah keyakinan yang berbeda. Sebab dalam kenyataanya tidak sedikit saudara kita non muslim juga nimbrung dalam kegiatan silaturahmi tersebut.