Lihat ke Halaman Asli

cipto lelono

TERVERIFIKASI

Sudah Pensiun Sebagai Guru

Bangun Sinergi Akal dan Jiwa, Wujudkan Takwa yang Bermakna di Bulan Puasa

Diperbarui: 5 April 2022   17:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Takwa bukan sesuatu yang fiktif, namun adanya adalah ada. Takwa juga bukan hal yang abstrak, sebab dapat dilihat, diamati, dan dirasakan baik oleh dirinya maupun orang lain  (Foto oleh Photo by Pok Rie dari Pexels)

Takwa adalah mutiara puasa. Sebagai mutiara maka takwa adalah tujuan yang hendak dicapai dalam kegiatan ibadah puasa (khususnya).

Takwa bukan sesuatu yang fiktif, namun adanya adalah ada. Takwa juga bukan hal yang abstrak, namun indikasinya dapat dilihat, diamati, dan dirasakan baik oleh dirinya maupun orang lain.

Oleh sebab itu  dalam berpuasa kiranya juga perlu adanya usaha untuk menyingkap sinergitas antara akal dan jiwa. Sebab keduanya selain menjadi anugerah terbesar yang diberikan kepada manusia untuk membangun peradaban, juga mempunyai peran besar dalam memahami dan meletakkan segenap aktivitas ibadah (khususnya puasa) bukan saja pada caranya, namun juga pada fungsinya. Di dalam cara dan fungsi puasa tersebut terdapat pesona bagi yang berhasil memperolehnya.

Dimensi takwa

Takwa harus dipahami mempunyai dimensi vertikal dan horizontal. Vertikal ditandai adanya sikap jiwa (batin) seseorang meyakini Eksistensi Allah SWT (bahwa eksistensinya ada).

Horizontal adalah sikap seseorang dalam membangun kemaslahatan sesama umat ciptaan Allah SWT atas dasar kesepakatan (konsensus) bersama.

Maka seseorang disebut bertakwa apabila mampu mewujudkan hubungan dengan Allah SWT dan hubungan dengan sesama manusia secara 'berkualitas'. Konsep ini di dalam Islam disebut dengan (hablun minallah dan hablun minannas)

Apabila konsep takwa ini sudah disepakati, maka seseorang menjadi takwa harus mempunyai sinergitas antara akal dan jiwanya.

Ketika seseorang hanya berhasil membangun kemaslahatan sesama, tetapi tidak didasari dengan iman pada eksistensi Allah SWT, orang tersebut belum bisa disebut orang bertakwa. Jadi hanya bisa disebut orang yang baik, dermawan,dll. Sebab kebaikannya tidak didasari dengan keimanan.

Sebaliknya, seseorang mengakui adanya eksistensi Allah SWT, namun tidak mau berbuat untuk kemaslahatan sesama. Atau sulit bahkan tidak berkenan diajak membangun kemaslahatan, semestinya orang tersebut juga belum bisa disebut sebagai orang yang bertakwa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline