Lihat ke Halaman Asli

cipto lelono

TERVERIFIKASI

Sudah Pensiun Sebagai Guru

Fenomena Penjara Mental Mengakui Kelebihan Orang Lain dan Praktik Perundungan Teman Sejawat di Lingkungan Sekolah

Diperbarui: 7 September 2021   21:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi perundungan di tempat kerja. Sumber: Blend Images/John Feingersh via Tribunnews.com

Praktik perundungan sesama teman di tempat kerja menjadi fenomena yang senantiasa menghiasi dinamika suatu lembaga. Sudah jamak dan lumrah di dunia kerja akan terisi persaingan nama, status dan pengaruh antar personal yang ada. Demikian juga yang terjadi di suatu sekolah.

Fenomena penjara mental untuk mengakui prestasi teman kerja juga menjadi persoalan tersendiri. Fenomena ini ikut menjadi penyebab menguatnya praktik perundungan sesama teman kerja di lingkungan sekolah selain penyebab yang bersifat sosio-cultural.

Kecenderungan yang muncul biasanya ditandai dengan upaya saling menjatuhkan nama baik melalui bisik-bisik maupun secara vulgar. Sebutan penjilat, orang kesayangan bos,dll menjadi kosa kata yang sering muncul.  Kecenderungan berikutnya biasanya si perundung merasa berhasil ketika sikapnya mendapatkan respon teman-teman sekerja yang lain.

Mungkinkah si perundung merasa gelisah? Bisa saja demikian. Sebab peluang atau kesempatan berada di posisi tertentu biasanya jadi incaran banyak orang. Padahal hanya beberapa orang yang dipandang potensi dan sesuai di posnya yang dipastikan mengisi pos tersebut.

Di sekolah pos-pos tersebut antara lain wakil kepala, wali kelas, kepanitian kegiatan sekolah, kegiatan ekstra, Tim Pengembang Sekolah, bendahara,dll.  Dulu, semua pos tersebut ada insentif tiap bulan. Demikian juga kepanitiaan, pasti ada insentif yang diterima sesuai dengan pos yang ditempati.

Di sekolah, fenomena yang muncul setidaknya ada dua hal. Pertama beberapa guru mempunyai skill ganda. Sehingga di banyak kegiatan sering mendapatkan mandat dari kepala sekolah. Kedua, guru-guru yang mempunyai skill yang bersifat homogen (terbatas). Maka pos-pos yang diberikan biasanya juga terbatas.

Dilihat jumlahnya, tentu guru yang mempunyai skill ganda jauh lebih sedikit dibanding dengan guru-guru yang skiil nya pada umumnya. Berpangkal dari sinilah, perundungan mulai terjadi. Apalagi si perundung orang yang merasa tua, paling lama masa kerjanya menambah suasana hiruk pikuk di sekolah tersebut.

Apa yang menjadi penyebab perundungan itu terjadi? Hal ini bisa dicermati dari aspek sosio-cultural maupun mentalitas.

1. Culture Lag

Yaitu ketimpangan kemampuan. Ketimpangan bisa terjadi pada penguasaan soft skill, teknologi, pengalaman lapangan, budaya literasi maupun potensi-potensi lain yang dibutuhkan untuk mengembangkan sekolah. Yang jelas terjadi perbedaan potensi dalam berbagai aspek yang dibutuhkan oleh sekolah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline