Lihat ke Halaman Asli

Surat Rindu untuk Kakek

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kakek, air mataku ini sebagai salam pembuka rinduku padamu yang tak terbendung lagi. Kini aku hanya bisa membayangkan senyum mu yang selalu menawan kala itu walau tanpa gigi. Ingin sekali rasanya merasakan kembali hangatnya pelukan tubuh kekarmu itu. Sungguh aku masih ingat betul pelukan mu yang terakhir kalinya kepadaku. Saat itu aku baru saja dikhitan seperti halnya anak laki-laki lainnya yang menginjak dewasa. Dan kau yang selalu menguatkan aku saat dihantui kecemasan kala itu

Kini hampir sepuluh tahun sudah kau meninggalkan ku, juga kami sekeluarga. Kau pergi jauh memenuhi takdir Tuhan yang mau tidak mau mesti kau penuhi. Saat itu rasanya aku ingin sekali marah kepada Tuhan yang telah memisahkan kita kepada dimensi yang berbeda. Hingga aku tak lagi bisa mendengar suara emas mu saat menimang-nimang aku dikala bayi. Tapi aku pun tersadar, keputusan Tuhan adalah yang terbaik bagimu. Egoku untuk terus bisa bersamamu adalah mustahil. Karena sesungguhnya semua makhluk hidup pasti dibatasi oleh waktu dan takdir-Nya.

Kakek, apa kabar? Seiring bunga-bunga di batu nisanmu yang bersemi indah, kini aku telah tumbuh dewasa Kek. Tidak lagi penakut. Tidak lagi lemah. Tidak pula cengeng. Karena aku selalu ingat pesan kakek kalau jadi anak laki-laki itu mesti kuat, jangan cepat loyo. Mesti gagah berani seperti Gathutkaca. Mesti tegar agar bisa mengayomi sesama. Dan lihatlah sekarang Kek, cucumu ini telah berusaha sekuat tenaga menjadi lelaki yang kau impikan kala itu. Walau aku tak bisa seperti dirimu.

Bagiku kau sosok petani yang tangguh dan pekerja keras. Kau juga seorang ulama pengayom masyarakat yang tulus mengabdi tanpa pamrih hingga akhir ajalmu. Dan yang membuatku begitu mengagumimu adalah kesederhanaanmu yang amat sangat hingga membuat kau tidak pernah mau memakai gelar yang menitis dalam darahmu itu. Sungguh kau guru sejati bagi kami semua, anak cucu dan seluruh keturunanmu. “Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha”. Itulah pesan filosofis yang tersirat dari perjalanan hidupanmu yang akan selalu kami amalkan.

Aku sungguh berharap kini kakek telah bahagia di surga-Nya. Tinggal di istana bersama para bidadari hingga kiamat tiba. Aku akan selalu berdoa agar Tuhan dan para malaikat-Nya menempatkan kakek di tempat yang mulia. Seperti kemuliaan sikap dan perilaku kakek selama hidup di dunia ini. Bagiku, kakek pantas mendapatkan tempat terindah di sisi-Nya. Juga di hatiku dan hati kami semua.

Kek, melalui surat rinduku ini aku ingin sekali mengucap terima kasih yang amat mendalam kepadamu. Yang dulu belum sempat terucap lewat bibir polosku ini. Walau kini engkau dan aku telah dipisahkan oleh alam yang berbeda, namun aku sungguh berharap malaikat akan menyampaikan surat rinduku ini kepadamu. Kek, maafkan aku yang belum sempat membalas segala budi dan jasa-jasamu. Kau pergi terlalu cepat sebelum aku mampu berbakti kepadamu. Sekali lagi terimakasih kakek…rinduku kepadamu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline