Lihat ke Halaman Asli

Ironi Pesta Demo(keras)i di Pedesaan

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu momen yang paling ditunggu-tunggu warga masyarakat di pedesaan ialah pesta demokrasi. Warga masyarakat di wilayah pedesaan menyebutnya sebagai pilkades atau istilah lainnya. Pada momen itulah warga masyarakat akan memberikan hak suaranya kepada orang yang dianggapnya baik berdasarkan hati nurani warga masing-masing. Hak suara warga masyarakat akan menentukan masa depan desanya. Calon kepala desa biasanya merupakan warga desa tersebut yang dianggap paham betul seluk beluk, kondisi masyarakat serta permasalahan yang ada di desanya.

Pilkades adalah salah satu bentuk pesta demokrasi. Pesta demokrasi bisa berarti merayakan demokrasi. Itu artinya mesti menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi dan asas “luber”. "Luber" merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Serta "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil”. Ironisnya, saya kerap kali melihat pesta demokrasi yang ada di lingkup pedesaan belum sepenuhnya menjalankan prinsip-prinsip maupun asas tersebut. Justru yang kerap terjadi bukan lagi pesta demokrasi, melainkan pesta demo(keras)i.

Mengapa saya katakan pesta demo(keras)i? Tentu ada alasan-alasannya. Saya kerap kali menyaksikan beberapa momen pemilihan umum di tingkat pedesaan, entah itu untuk memilih kapala desa ataupun bupati; yang justru membuat warga masyarakatnya saling tidak akur. Perbedaan calon pilihan kerap kali membuat warga masyarakat di pedesaan menjadi saling cemooh, saling hasud, saling fitnah, saling adu domba, hingga bahkan melakukan aksi anarkisme/vandalisme demi mendukung calon pilihannya. Tidak jarang ada yang hingga tega (maaf) main perdukunan demi menjaga gengsi antar kelompok pendukung calon.

Yang lebih memprihatinkan lagi, saya kerap mendengar dan menyaksikan terjadinya keretakan hubungan sebuah silaturohmi dalam masyarakat hanya gara-gara persoalan beda pilihan dalam pemilu di lingkup pedesaan. Pernah saya menyaksikan di perkampungan ada dua keluarga dekat yang jadi bermusuhan hanya gara-gara persoalan sepele tersebut, yakni beda pilihan. Apa tidak sayang tuh mengorbankan tali silaturohmi persaudaraan hanya gara-gara masalah perbedaan dan kekuasaan (derajat) yang tidak bakalan dibawa mati juga kan? Ah, lagi-lagi dibutakan oleh kekuasaan dan kedudukan. Ironis!

Pesta demokrasi di lingkup pedesaan yang kerapkali ternodai oleh nilai-nilai politik yang tidak beretika adalah sebuah ironi yang mesti kita luruskan bersama. Saya melihat, pesta demokrasi di pedesaan banyak yang masih bersifat egosentrik, demi kepentingan kelompok tertentu semata, belum mencakup tujuan kemaslahatan bersama ataupun kebangsaan. Buktinya, semua kelompok ingin diakui yang paling suci, paling benar sendiri, paling hebat, paling berjasa terhadap wilayahnya, paling pintar, dan paling-paling lainnya yang belum tentu terbukti realitasnya. Apakah itu yang dinamakan demokrasi?

Nampaknya warga masyarakat di wilayah pedesaan mesti terus diberikan pendidikan politik secara lebih intensif. Terutama pemahaman tentang demokrasi yang benar, partisipasi masyarakat dalam politik serta nilai-nilai kebangsaan dan nasionalisme. Dalam hal ini berbagai pihak bisa turut berperan dalam menumbuhkan kesadaran berpolitik yang cerdas dan bijak kepada masyarakat, misalkan saja para mahasiswa, guru, dosen, dan pihak-pihak terkait lainnya. Harapan kita bersama tentu adalah terwujudnya masyarakat yang sadar politik secara cerdas dan bijak. Sehingga tidak ada lagi istilah pesta demo(keras)i yang cenderung menimbulkan perpecahan serta aksi anarkisme/vandalisme.

Mari kita bersama dukung perwujudan pesta demokrasi yang beretika, demi kemaslahatan bersama dan kebangsaan. Ingat, tetap saling menghormati walau berbeda pilihan adalah cerminan masyarakat yang sadar politik secara cerdas dan bijak. Karena sesungguhnya perbedaan itu indah dan menguatkan satu sama lain!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline