Lihat ke Halaman Asli

Antara Kedelai Impor, Kolam Susu, & SDM Indonesia

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13434420861658992479

Dini hari tadi (28/7) saya kebetulan beli makanan untuk sahur di sebuah warung makan sederhana di kawasan Jogja. “Beli nasi sama gudegnya sebungkus mbah”, kataku kepada simbah sang penjaga warung makan itu yang sudah agak sepuh. Sambil menunggu simbah membungkuskan nasi gudeg itu aku pun melihat-lihat lauk yang ada. “Wah ternyata ada tempe goreng kesukaanku”, batinku dalam hati. Tanpa basa-basi aku pun langsung menanyakan harga tempe goreng itu kepada simbah. “Mbah ini tempe gorengnya satu berapa ya?”. “Masih tetep 500 rupiah saja kok mas, tapi sekarang tempenya lebih mini dari yang biasanya mas. Maklum lah mas, sekarang harga kedelai bahan untuk membuat tempe katanya kan semakin mahal. Mau tidak mau pengrajin tempe menyiasatinya dengan memperkecil ukuran tempe”, kata simbah itu menjelaskan.

[caption id="attachment_190165" align="alignleft" width="300" caption="Sumber Photo: merdeka.com"][/caption]

Ya sudahlah, mau gimana lagi. Pikirku sebagai konsumen kita hanya bisa pasrah. Karena memang sudah hobi makan tempe, ya meskipun semakin mini ukurannya tidak jadi masalah bagiku. Kasus serupa juga terjadi saat aku mampir makan di angkringan. Ternyata beberapa angkringan di Jogja telah menaikkan harga gorengan tahu dan tempe. Kenaikannya pun bervariasi, mulai dari 100 sampai dengan 500 rupiah. Kenaikan harga segitu bagi orang kaya mungkin tidak seberapa. Namun bagi orang-orang kecil yang memang paling sering makan di angkringan/warung makan sederhana dengan lauk tahu dan tempe, tentu itu amat sangat memberatkan. Misalkan saja bagi tukang becak, tukang ojek, seniman jalanan, mahasiswa, ataupun masyarakat kecil lainnya.

13434414861294866378

Photo: dinaspertanian.masanhosting.com

Saya jadi teringat masa-masa kecil dulu, yang mana hampir setiap hari saya makan pakai lauk tahu, tempe ditambah kecap. Sampai-sampai pipi saya tembem dan dikatakan seperti tahu bentuknya, hehehe… Saya juga masih ingat betul, saat itu harga sebuah tahu dan tempe masih sekitar Rp 50,- sd Rp 100,-. Sementara harga kecap model saset masih sekitar Rp 100,- sd Rp 150,- per sasetnya. Dan ketiganya sama-sama terbuat dari bahan kedelai, yang kini untuk mendapatkannya negara ini mesti mengimpor dari luar negeri. Saya pun tidak habis pikir, heran benar-benar heran. Makanan/lauk tradisional yang lekat dengan rakyat kecil pun bahannya mesti diimpor. Padahal negara kita ini jelas-jelas kaya akan lahan subur dan sumber daya alam yang melimpah ruah.

Saya pun jadi tersindir oleh lagunya bang Koes Plus yang berjudul “Kolam Susu”. Demikian kira-kira beberapa kutipan liriknya: Orang bilang tanah kita tanah surga//Tongkat kayu dan batu jadi tanaman//Orang bilang tanah kita tanah surga//Tongkah kayu dan batu jadi tanaman. Lagu ini mengingatkan kita semua bahwa tanah kita ini tanah surga. Tanah yang diberkahi Tuhan dengan kesuburan dan kekayaan barang tambang serta mineral yang terkandung di dalamnya. Ibaratnya kita geletakkan sebatang pohon singkong tanpa dirawat saja bisa tumbuh bertunas. Apalagi kalau dirawat dan dipelihara dengan baik. Tidak ada ikan salmon ala makanan orang kaya pun kita masih bisa makan dengan sayur-mayur yang dengan mudah ditanam di sekitar rumah/menggunakan pot.

13434417371596377028

Sumber Photo: foragri.blogsome.com

Nah ketika kedelai saja masih mesti mengimpor dari negara lain, lalu apakah sebagai sebuah negeri yang dikenal tanah surga ini kita tidak malu? Apa sebenarnya yang salah dari negara ini? Kalau soal SDM atau kecerdasan manusianya sebagai pengelola, saya kira kita tidak kalah kok dengan negara lain. Terbukti banyak putra-putri bangsa yang kini aktif berkiprah sebagai ilmuwan dan peneliti yang terkenal hingga kancah internasional. Atau justru mungkin kita memang kalah ulet dan tidak setekun negara lain dalam mengelola SDA yang ada? Mari kita cari bersama jawabannya mulai dari diri pribadi kita masing-masing :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline