Lihat ke Halaman Asli

Relevansi “Bibit, Bebet dan Bobot” dalam Mencari Jodoh

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Yogyakarta: Dalam masyarakat Jawa, ada satu pesan filosofi (wasiat) dari para orang tua kepada anak-cucunya terkait kunci dalam mencari jodoh atau pasangan hidup. Apabila seseorang ingin menikah maka dari target calon pasangannya itu ia harus melihat bibit, bebet dan bobot-nya terlebih dahulu. Menurut para orang tua (sesepuh ) Jawa zaman dulu, filosofi “bibit, bebet dan bobot” merupakan salah satu rahasia kesuksesan orang Jawa kala itu dalam membina rumah tangga. Sebuah rumah tangga yang dilandasi dengan memperhatikan “bibit, bebet dan bobot” sang calon pasangan sebelum melaju ke jenjang pernikahan, diyakini akan menjadikan sebuah hubungan “dalam konteks berumah tangga” nantinya menjadi lebih langgeng, sakinah, mawadah, warohmah dan penuh kebahagiaan. Betul tidaknya, percaya atau tidak, Anda boleh buktikan sendiri :)

Secara sederhana demikianlah pembahasannya. “Bibit” secara harafiah berarti rupa, asal-usul atau keturunan. Maksudnya dalam mencari jodoh idaman Anda sebaiknya cari tahu dulu berasal dari keluarga seperti apa calon pasangan (gebetan) Anda itu. Apakah dari keluarga baik-baik ataukah tidak? Nah, Anda mesti bisa pintar-pintar mencari tahu bagaimana latar belakang orang tua dan keluarga besar calon pasangan Anda tanpa membuatnya merasa tersinggung. Hal ini tentu bertujuan positif, di samping menghindari modus penipuan yang berkedok pernikahan, juga agar kelak setelah berumah tangga Anda tidak menyesal. Kecuali bila Anda bersama orang tua (keluarga besar Anda) dan pihak calon pasangan Anda memang sudah bisa saling menerima, atau mungkin bahkan sudah saling mengenal.

“Bebet”, maksudnya kesiapan seseorang dalam memberi nafkah keluarga. Filosofi “bebet” lebih dititkberatkan pada aspek ekonomi atau harta. Atau, bisa pula dilihat daripada kepribadian sang calon pasangan Anda, bagimana pergaulannya? Atau mungkin sudah punya rumah pribadi belum, sudah punya penghasilan pribadi belum, sudah punya mobil pribadi belum (loh?) Hehehe… Dalam artian sudah bisa mandiri, berdikari dan tidak lagi bergantung kepada orang tua. Ini penting, jangan sampai setelah menikah justru makin merepotkan orang tua.

“Bobot” maksudnya kualitas individu sang calon pasangan dalam arti yang luas. Pada umumnya meliputi aspek latarbelakang pendidikan, akhlak dan agama. Bisa pula dimaknai seberapa sukseskah sang calon pasangan dalam makan garam kehidupan. Bagaimana wataknya, bagaimana kelakuannya sehari-hari khususnya di lingkungan, kecerdasan serta jenjang pendidikan yang pernah diselesaikannya. Kini seiring materialisme yang melanda masyarakat, poinnya pun berkembang menjadi bagaimana kedudukan dan pangkatnya, kekayaan dan pendapatannya, gaya hidupnya sehari-hari, dan seterusnya.

Itulah tiga pesan wasiat dalam mencari jodoh yang pernah penulis dapatkan dari para sesepuh atau orang tua Jawa. Nah, mau dijalankan atau tidak, mau setuju atau tidak, mau percaya atau tidak, itu terserah Anda masing-masing. Toh yang akan menjalin hubungan adalah Anda sendiri. Dan menurut penulis ini bisa berlaku fleksibel, dalam artian tidak mengikat dan tidak diharuskan. Mengingat, yang namanya cinta itu kan katanya buta? Kalau sudah jatuh cinta dan merasa berjodoh, bagi sebagian banyak orang ya enjoy saja menjalaninya. Tanpa mesti melihat “bibit, bebet dan bobot" sang pasangan. Kata anak-anak gaul sekarang sih, “don’t judge a book by cover”. Ya silahkan saja mana yang menjadi keyakinan dan pilihan dalam kehidupan Anda. Toh dalam masyarakat kita ini mengenal istilah bagaimana luwesnya atau bagaimana baiknya saja. Asalkan, tidak merugikan orang lain! Right?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline