“Hey Radit kamu itu mirip banget sama temanku deh. Namanya Riko, dia sekarang sudah jadi dokter gigi yang top di sebuah rumah sakit terkenal”, sapa Amanda sambil tersenyum menepuk pundakku saat kami berjalan beriringan di lorong kelas. “Oh ya… pastinya lebih tampan dan keren teman kamu itu kan?”, balasku kepadanya sambil tertawa kecil. Pertanyaan itu sudah sering aku dengar dari gadis cantik berkaca mata itu. Entahlah aku tidak mengerti apa maksud Amanda sering melontarkan pertanyaan itu kepadaku.
Kebetulan aku dan Amanda kuliah di jurusan yang sama. Yaitu Filsafat, jurusan yang terkenal paling menyeramkan di fakultas tempatku menimba ilmu. Konon berdasarkan gossip yang berhembus di media kampus kami, jurusan Filsafat adalah pencetak orang-orang gila. Yakni orang-orang yang sibuk mencari hakekat sesuatu, memaknai sebuah makna, berfikir menembus batas logika dan bahkan mencoba mengorek keberadaan Tuhan semesta. Bahkan seorang dosen dari jurusan kami pernah bercanda dengan lagak serius, “kalian belum dinyatakan benar-benar lulus kalau belum gila”. “Hahaha…, padahal tiga tahun sudah aku kuliah di jurusan itu. Untunglah aku masih waras setidaknya sampai detik ini”, batinku.
Suatu ketika kebetulan aku dan Amanda sampai di kampus hampir bersamaan. Dia datang satu menit setelah aku. Tidak seperti biasanya kali ini Manda memarkirkan motor pink kesayangannya tepat di samping motorku. Melihat jarum jam di tangan telah bergeser 3 menit dari jam 7 pagi, aku pun bergegas menuju ruang kuliah di lantai dua sambil membenarkan kerah baju yang belum sempat dirapikan saking keburu-buru. Amanda menyusul di belakangku dan kami berjalan berdua menuju ruang F03-206 untuk mengikuti matakuliah Filsafat Manusia bersama Pak Plato. Pak Plato adalah seorang dosen di kampus kami yang terkenal dengan rambutnya yang terurai panjang dan tak beraturan. Dia paling tidak suka ada mahasiswanya yang datang terlambat saat jam matakuliahnya.
Tok..tok..tok.. aku mengetuk pintu ruang kelas sambil gemetaran karena sudah tahu pasti akan mendapatkan hukuman dari Pak Plato. “Permisi Pak, maaf saya terlambat soalnya tadi kena lampu merah di jalan”, aku mencoba cari-cari alasan. Disusul Amanda di belakangku yang mulai bermandikan keringat, hingga nampak basah kuyup seperti habis kehujanan. “Maaf Pak saya tadi ikut kena lampu merah sama Radit”, ujar Amanda mengada-ada alasan. Cuit…cuit…prikitiew….seisi ruangan kelas yang tadinya serius pecah jadi gaduh gara-gara ulahku dan Amanda. Aku pun tidak mengira Amanda akan memberikan alasan seperti itu. Dari nadanya seperti memberikan sinyal-sinyal yang tak ku pahami sebelumnya.
Ah sial lagi-lagi aku dibuatnya penasaran. Namun sialnya lagi Pak Plato dosen yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kedisiplinan itu tidak mau tahu alasan kami. “Bagaimanapun kalian harus diberikan hukuman, ini demi menegakkan kedisiplinan di kelas kita”, cetus Pak Plato sambil memegang buku berjudul Aliran-Aliran Filsafat di tangannya itu. “Sebagai hukumannya saya minta kalian berdua memaknai dan menuliskan filosofi cinta menurut pengalaman dan bahasa kalian pribadi. Saya kasih waktu satu minggu dari sekarang. Dan kuliah minggu depan kalian berdua presentasikan di depan teman-teman”, ujar Pak Plato menegaskan.
“Huh sial…sial… hari ini benar-benar menyebalkan”, batinku seketika. Seusai perkuliahan itu aku dan Amanda bertemu di parkiran. Kami membahas tentang tugas spesial yang diberikan Professor Plato kepada kami berdua. “Hey Manda, kapan kamu punya waktu buat ngerjain tugas dari Professor Plato tadi”, minggu depan harus sudah jadi bukan”?, tanyaku padanya. Seketika itu pipi Amanda nampak merah merona, matanya bersinar, seperti menyimpan sesuatu. “Kapanpun kamu mau aku pasti siap, selalu ada waktu buat kamu”, jawab Manda dengan agak salah tingkah. Aku masih belum paham dengan lagatnya itu.
***
Selama satu minggu aku lebih sering berjalan berdua sama Amanda. Hari demi hari setidaknya dalam seminggu itu kami lewati berdua untuk menemukan filosofi cinta. Demi memenuhi tugas kami kepada Pak Plato. Sampai akhirnya datang saat itu. Pada suatu sore yang cerah aku mengajak Amanda jalan-jalan dengan alasan menemukan filosofi cinta yang ditugaskan oleh Pak Plato. Kami pun menikmati indahnya senja berdua, menyaksikan tenggelamnya sang surya di bibir pantai, ditambah angin sepoi-sepoi yang mengalun pelan.
Tiba-tiba aku merasa ada yang aneh pada diriku saat itu. Aku merasa bahagia saat bersama Manda. Hidupku menjadi lebih berwarna, tidak monoton seperti sebelumnya. Aku jadi lebih bersemangat dalam menjalani hidup ini. Dan terkadang aku suka ketawa-ketawa sendiri saat membayangkan wajah Manda. “Mungkinkah ini yang dinamakan cinta”, pikirku. Sayangnya setahuku Amanda telah punya teman spesial seorang dokter yang sering ia ceritakan kepadaku. “Manda… maaf sebelumnya mungkin aneh kedengarannya bagimu. Ini untuk pertama kalinya aku jalan sama cewek. Dan yang lebih istimewa lagi cewek itu secantik kamu. Jujur saja aku belum pernah jatuh cinta sebelumnya. Jadinya terlalu sulit bagiku untuk menemukan filosofi cinta”, ujarku kepada Amanda dengan wajah polos.
Amanda nampak begitu kaget. Aku bisa melihat dari ekpresinya. “Sungguh?, aku tidak percaya”, cetus Manda. “Sungguh, selama ini aku begitu phobia dengan cinta. Kakakku patah hati hingga stress gara-gara cinta. Sejak itulah aku trauma dan takut dengan yang namanya cinta”, curhatku kepada Manda. Manda pun tersenyum manis kepadaku, sambil melepas kacamata dan mengusap air matanya. Tiba-tiba dia rebahkan kepalanya dipundakku lalu menumpahkan seluruh unek-unek yang telah mengendap lama dihatinya. “Sungguh aku baru menemukan cowok sepolos dan sebaik kamu, Radit. Dulu aku memang pernah jatuh cinta dengan seorang dokter yang wajahnya mirip kamu. Dia keren tapi ketampanannya telah menggoreskan luka di hatiku ini. Belum lama ini bahkan dia mengirimi aku undangan untuk hadir pada pesta pernikahannya dengan wanita lain yang dianggapnya lebih sempurna”, curhat Manda sambil menangis di pundakku.
Manda menambahkan, “terkadang cinta memang kejam ketika menuntut adanya kesempurnaan. Cinta merupakan kepalsuan ketika kita menikmatinya dari sudut ketampanan ataupun kecantikan seseorang semata. Bahkan terkadang lidah cinta lebih tajam dari sebilah pedang samurai. Kini aku pun belajar untuk mencintai seseorang apa adanya, seperti kamu ini Radit”. Tiba-tiba hatiku seperti dijatuhi bom atom, begitu meledak-ledak tidak karuan. Sekujur tubuhku pun merah merona. Jantungku seperti naik turun mau copot.