Lihat ke Halaman Asli

Cipta Mahendra

Dokter yang suka membaca apapun yang bisa dibaca.

Apakah Minyak Kelapa Baik untuk Kesehatan?

Diperbarui: 11 Juni 2021   07:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Seneviratne & Jayathilaka

Minyak kelapa (coconut oil) di telinga kita seharusnya sudah bukan barang asing lagi. Sekarang minyak jenis ini bisa dengan mudah kita temukan dijual bebas di berbagai mini-/supermarket, bersama dengan minyak-minyak jenis lainnya. Minyak kelapa yang dimaksud disini yaitu minyak yang berasal dari buah kelapa (coconut), bukan dari kelapa sawit (palm) seperti yang paling jamak ditemukan di dapur-dapur rumah kita. Berbeda dengan minyak kelapa sawit (palm oil) yang memiliki tampilan warna kekuningan, minyak kelapa secara alami umumnya bersifat tembus pandang atau bening (tidak berwarna).

Minyak kelapa sempat digadang-gadang menjadi superfood karena dikatakan mempunyai segudang manfaat untuk kesehatan. Minyak kelapa bahkan juga sering digunakan dalam beberapa macam diet seperti diet ketogenik dan paleo. Di mancanegara, endorsement dari tokoh-tokoh populer dan selebriti bahkan turut menjadikan minyak kelapa ini semakin populer hingga kini. Sebuah survei di Amerika Serikat melaporkan sebanyak 72% warganya memersepsikan minyak kelapa sebagai makanan menyehatkan. Di Indonesia sendiri, kabar minyak kelapa yang (katanya) bagus untuk kesehatan juga sempat (dan masih) mendapat perhatian dan dianut oleh sebagian masyarakat kita. Salah satu manfaat yang sering dijagokan dari minyak kelapa adalah menjaga kesehatan jantung karena mampu menurunkan level kolesterol buruk dalam tubuh. Sejumlah situs informasi kesehatan ada yang mengamini manfaat tersebut, namun ada pula yang menganggapnya tidak menyehatkan. Bagaimana sebenarnya dampak konsumsi minyak kelapa bagi kesehatan kita?

Biokimia Minyak Kelapa

Sebelum membahas polemik minyak kelapa, ada baiknya untuk menilik sekilas bagaimana karakteristik minyak kelapa itu sendiri secara biokimiawi. Menurut situs informasi nutrisi Harvard School of Public Health, minyak kelapa tersusun seluruhnya (100%) dari lemak (fat), dengan 80-90%-nya merupakan jenis lemak jenuh (saturated fat) (Seneviratne & Jayathilaka, 2016). Asam lemak (fatty acids) utama dalam minyak kelapa yaitu asam laurat, yang hampir menyusun setengah dari keseluruhan lemak pada minyak kelapa (46%); asam lemak utama yang lain yaitu asam miristat (17%) dan asam palmitat (9%) (Boemeke dkk, 2015); keduanya merupakan asam lemak jenuh rantai panjang (long chain triglycerides/LCT).

Asam lemak laurat sendiri sebagai penyusun mayoritas lemak dalam minyak kelapa digolongkan sebagai asam lemak jenuh rantai sedang (medium chain triglycerides/MCT). Selain laurat, kelapa juga mengandung asam-asam lemak jenuh lain yang termasuk jenis MCT dan secara kumulatif menyusun 65% minyak kelapa (Hewlings, 2020). Dibandingkan asam lemak jenis LCT, jenis MCT relatif lebih mudah diserap usus halus dan dialirkan menuju hati untuk kemudian segera digunakan sebagai sumber energi sehingga meminimalkan kecenderungannya menumpuk di jaringan lemak dan organ-organ tubuh (Shankar, 2014).

Dibanding minyak-minyak nabati lain, minyak kelapa hanya mengandung sedikit sekali asam lemak tidak jenuh, baik tunggal (monounsaturated) maupun ganda (polyunsaturated) (tabel 1). Sama seperti minyak nabati umumnya, minyak kelapa juga tidak mengandung kolesterol dan serat. Adapun nutrien lain seperti vitamin dan mineral serta fitosterol hanya ditemukan dalam jumlah sangat sedikit (traces). Dalam suhu ruangan, minyak kelapa cenderung menjadi padat (solid).

Pendapat Hasil Studi terkait Minyak Kelapa

Hasil telaah studi systematic review dan meta-analisis yang ditulis oleh Neelakantan dkk tahun 2020 dan dirilis dalam jurnal Circulation terbitan American Heart Association (AHA) menyatakan bahwa minyak kelapa secara bermakna menaikkan kadar kolesterol low-density lipoprotein (LDL) – yang merupakan kolesterol ‘jahat’ - dibandingkan minyak-minyak nabati jenis lain. Meskipun minyak kelapa juga bisa menaikkan kadar kolesterol high-density lipoprotein (HDL) (kolesterol ‘baik’), kenaikannya tidak bermakna sehingga tidak dianggap besar dampaknya untuk kesehatan jantung sehingga tidak disarankan untuk digunakan sebagai sumber minyak untuk penurunan risiko penyakit jantung. Efek hiperkolesterolemia (kolesterol tinggi) ini tampaknya dikarenakan kandungan asam lemak jenuhnya yang tinggi (Neelakantan dkk, 2020). Sebuah tinjauan serupa oleh Santos dkk tahun 2019 juga mendukung pendapat Neelakantan dkk, yang menyatakan tidak ada bukti klinis memadai untuk mendukung penggunaan minyak kelapa untuk kesehatan kardiovaskular; konsumsinya menaikkan semua parameter kolesterol, tidak hanya HDL tetapi juga LDL dan trigliserida.

Seperti yang sudah dituliskan sebelumnya, dalam sejumlah penelitian dan tinjauan, dikatakan bahwa penggunaan asam lemak jenuh jenis MCT - dibandingkan terhadap asam lemak LCT – memang bisa membantu menurunkan berat badan dan mencegah kegemukan karena sifat MCT yang menaikkan laju oksidasi molekul lemak sehingga bisa segera digunakan sebagai sumber energi tubuh. Namun demikian, sebagian besar studi-studi yang melihat dampak MCT ini menggunakan asam lemak MCT jenis kaprilat atau kaprik, bukan laurat (Neelakantan dkk, 2020). Dalam minyak kelapa, proporsi kedua asam lemak ini sedikit saja, sekitar 7% dan 5% masing-masing. Dengan demikian, temuan manfaat positif dari MCT itu tadi tidak bisa digeneralisir untuk minyak kelapa karena asam lemaknya berbeda, meskipun sama-sama berjenis MCT.

Intisari yang Dapat Diambil

Apa yang bisa kita simpulkan dari ulasan diatas? Pernyataan yang dituliskan Neelakantan dkk tadi tampaknya menjadi hal paling penting yang bisa dipetik untuk menjawab kontroversi minyak kelapa, yaitu bahwa minyak ini cenderung tidak memberi hasil menguntungkan sebagai superfood untuk pemeliharaan kesehatan jantung karena ternyata justru menaikkan kadar kolesterol ‘jahat’. Sejatinya secara logispun, fakta bahwa sekitar 90% jenis asam lemak dalam minyak kelapa berupa asam lemak jenuh (lihat kembali tabel 1) seharusnya memang sudah mengindikasikan tidak baiknya minyak ini untuk kesehatan kardiovaskular kita apapun jenis rantainya, entah sedang ataupun panjang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline