Mononatrium/monosodium glutamat (MSG) sudah sejak lama menjadi bumbu penyedap rasa yang sering digunakan untuk berbagai makanan baik di Indonesia sendiri maupun di negara-negara Asia lain. memunculkan kontroversi di kalangan masyarakat. Sejak penemuannya pada tahun 1907 oleh Kikunae Ikeda, seorang profesor Jepang, profil MSG sebagai salah satu bahan tambahan pangan hingga kini masih terbelit pro dan kontra. Sejumlah penelitian yang baru-baru ini dipublikasikan di berbagai jurnal pun juga memberi ulasan berbeda terkait MSG.
Di dunia Barat sendiri, MSG kerap kali dianggap menyebabkan sejumlah masalah bagi tubuh setelah mengonsumsi makanan mengandung MSG -- disebut sebagai MSG symptom complex -- seperti sakit kepala, berkeringat, baal dan rasa terbakar di wajah, merasa lemah, dan bahkan juga nyeri dada serta jantung berdebar. Pengalaman saya sendiri (dan mungkin juga para pembaca), anggapan yang sering terdengar sampai sekarang yaitu bahwa MSG tidak baik untuk anak-anak, yang notabene bisa membuat otaknya menjadi 'bodoh'. Bagaimana pendapat hasil-hasil penelitian mengenai MSG bagi tubuh manusia?
Biokimia MSG
Sebelumnya ada baiknya kita melihat sekilas MSG dan bagaimana zat ini dimetabolisme dalam pencernaan tubuh. MSG memiliki rumus kimia C5H8NNaO4, yang merupakan garam sodium dari asam glutamat, yang merupakan salah satu dari 20 jenis molekul asam amino yang menyusun berbagai organ tubuh. Setelah dikonsumsi dan mencapai usus halus, MSG dicerna dan kemudian diserap oleh sel-sel usus itu. Mayoritas molekul MSG yang sudah tercerna ini dimanfaatkan sendiri oleh sel-sel usus ini sebagai bahan untuk menyusun zat-zat perantara yang menjadi mediator dalam siklus-siklus sel untuk menunjang kelangsungan hidup sel itu sendiri. Sebagian kecil MSG lain yang berlebih lalu dimetabolisme lebih lanjut dan dikonversikan menjadi molekul-molekul asam amino lain atau turunannya (arginin, sitrulin, alanin, ornitin, prolin) oleh dan dilepaskan ke aliran portal/sistemik pembuluh darah, baik oleh sel usus ataupun sel-sel hati saat sudah berada dalam pembuluh darah (Kazmi dkk, 2017).
Dalam fisiologi tubuh manusia, (asam) glutamat merupakan zat perangsang saraf (neurotransmiter) pengeksitasi utama untuk sistem saraf. Glutamat juga menjadi molekul prekursor penting untuk sintesis molekul glutation, sebuah antioksidan alami yang berfungsi untuk menetralkan radikal bebas dalam tubuh. Zat MSG sendiri sebenarnya bisa ditemukan dalam banyak jenis bahan pangan alam, terutama yang banyak mengandung protein. MSG yang ditemukan di dalamnya dapat berbentuk bebas atau terikat dengan asam-asam amino penyusun protein lainnya. MSG yang memberikan efek pengaya rasa (rasa umami) adalah yang dalam bentuk bebas; MSG bentuk terikat tidak memiliki efek tersebut. MSG memberi efek rasa umaminya melalui perangsangan reseptor-reseptor papila rasa (taste buds) pada lidah.
Penelitian MSG
Sebagian hasil studi terkait MSG menuliskan sejumlah dampak negatif yang bisa ditimbulkan akibat MSG. Studi preklinis pada hewan coba melaporkan bahwa MSG dapat memicu kaskade stres oksidatif dalam tubuh, menyebabkan obesitas, dan masalah-masalah terkait sistem persarafan (migrain, kejang, autisme, hiperaktivitas, penyakit Alzheimer dan Parkinson, dan sklerosis multipel) (Bera dkk, 2017). Selain dampak-dampak itu, konsumsi MSG juga disinyalir menyebabkan perubahan jaringan dan ritme jantung (Kazmi dkk, 2017), merusak hati, memicu diabetes, mengganggu fertilitas dan perkembangan janin, menyebabkan tumbuhnya jaringan tumor, dan mengganggu respon normal imun pada tikus-tikus coba (Zanfirescu dkk, 2019). Sementara dalam studi-studi tahap klinis, MSG dapat memicu MSG symptom complex dan memperparah kejadian dermatitis atopik serta asma (Husarova & Ostatnikova, 2013). MSG juga bahkan dikatakan bisa merusak DNA (kode genetik) dalam inti sel.
Namun studi-studi ini tampaknya memiliki beberapa kelemahan metodologi yang cukup banyak. Penggunaan kelompok kontrol yang tidak adekuat, ukuran sampel penelitian yang kecil, dan akurasi dosis MSG yang dipakai untuk percobaan yang rendah menjadikan berbagai studi preklinis terkait efek MSG tadi tidak begitu valid (Thuy dkk, 2020). Selain itu, penggunaan dosis uji MSG dalam penelitian-penelitian itu juga menggunakan dosis yang sangat tinggi, jauh melampaui jumlah yang biasanya dikonsumsi dalam makanan sehari-hari; rute pemberian MSG-nya pun juga bukan secara oral (ditelan melalui mulut) tetapi disuntikkan secara subkutan (melalui kulit) atau intraperitonium (langsung ke usus halus) (Zanfirescu dkk, 2019). Riset-riset klinis yang sudah ada pun juga masih tidak bisa membuktikan adanya hubungan sebab-akibat (kausalitas). Hasil-hasil studinya juga sering berkonflik satu dengan lainnya, yang mengindikasikan bahwa bukti kuat masih belum ada dan reprodusibilitas gejala/gangguan belum terbukti (Zanfirescu dkk, 2017). Lagipula sudah sejak lama pula hasil penelitian menunjukkan, glutamat ternyata tidak dapat menembus sawar darah-otak (Hawkins, 2009) sehingga efek asupan MSG terhadap sel-sel saraf otak secara teoritis tidak ada ataupun mungkin dalam jumlah kecil saja.
Pendapat Lembaga-lembaga Internasional