Lihat ke Halaman Asli

Dini Hari yang Frustasi

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Televisi berkelap-kelip, memecah senyap yang enggan berkedip. Di dalam kotak dua puluh empat inci ada pertandingan bola. Panzer kontra negara seribu dewa. Di lapangan hijau, hampir dua lusin lelaki berkejaran risau. Merubungi bundar bola seperti pasukan semut lapar bongkahan gula. Separuh babak pertama hendak usai. Belum ada yang mencetak nilai. Alot! Penyerang dan pemertahan sama ngotot.

Percobaan pertama, tidak kena!

Percobaan kedua, tak lolos juga!

Percobaan ketiga dan kesekian lalu berakhir sama.

Raut kaku di sana-sini. Pemain meraung, pelatih mengaduh, dan penonton berjeritan saban kali bola melintir dari gawang. Beberapa wajah diselubungi ragu, separuh lagi sendu.

Di atas keramik juga tengah bertarung sengit cicak dan lipan. Masing-masing seekor jumlahnya. Keduanya berperang dalam diam. Mengamati titik lemah lawan sembari menerka-nerka. Cicak yang lapar tak akan melepaskan mangsa. Pun, lipan tak pernah berbesar hati untuk dimangsa. Satu menit, dua menit, tetap bergeming. Satu menit, dua menit, tak beranjak. Seperti dua buah pajangan baru di ruang tamu.

Panzer membabi buta menerobos pertahanan, Ethniki tetap kukuh melawan. Seperti David dan Goliath.

Tak terduga, lipan bergerak. Kaki seribunya melesat kilat menjauhi pusaran maut. Cicak tak ingin sarapan paginya berlalu, maka ia bergerak maju. Mereka berkejaran hingga ke bawah dipan. Lantas buyar. Tak lagi terlihat. Entah perseteruan macam apa yang berlanjut di kolong sana.

Putih mencekal biru, biru menjegal putih. Nyaris!

Ia yang tercenung di dalam kelambu juga tengah dihantam pilu. Nalarnya tak pernah mencapai fase ini, momen yang tak dikiranya akan singgah. Ia tak pernah percaya ini sebelumnya. Yang ia yakini ialah: dua orang yang telah memantapkan hati untuk menjadi satu akan selalu menjadi fusi yang padu. Maka, ia hanya tertawa remeh ketika Anto, Budi, atau Carlie membombardirnya dengan cerita serupa. Mereka meninggalkan wanitanya dengan alasan ‘tidak bisa lagi bersama’, ‘demi kebaikannya’, ‘dia layak mendapatkan yang lebih baik’.

Ia lantas tertawa, menertawai fakta. Ia selalu percaya bahwa mencintai adalah pilihan, seperti naik wahana di taman hiburan. Sekali engkau naik ke atasnya dan melingkarkan sabuk pengaman, tidak akan bisa turun sekenanya.  Ikuti arusnya, nikmati ayunannya hingga akhir perjalanan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline