Lihat ke Halaman Asli

Risalah Sembilan Sebelas

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hujan dan pekatnya malam berkonspirasi meretaskan rindu yang tak kunjung melayu

Mengoyak cerita yang pernah kita renda berdua, dengan sebuah prolog sederhana

Bukan dengan puisi

Aku tahu, bahkan kau pun tak mampu memilah diksi

Kau hanya melarik sebait janji yang katanya akan kau genapi

Bulan sembilan, kau datang bersama bunga yang katamu tak akan mati. Katamu aku adalah pelangi, pewarna merah hati. Pada rumpun bunga abadi, kau menyisipkan secarik asa. Aku boleh membukanya ketika kita tiba di penanjakan. Kita akan menitinya bersama, katamu dengan binar di sudut mata.

Bertahun berlalu

Semua masih begitu lekat

Seperti sembilu yang menelusuk terlampau lamat

Mungkin terlalu banyak cerita untuk kita bagi berdua, tapi kita terlalu lelah untuk melumatnya. Pada suatu senja, kita terduduk bisu. Aku mencuri lihat dalam remang. Di pelupukmu tak ada lagi pelangi. Pelangi sudah mati, mungkin sejak tempo hari. Samar, aku melihat siluet mentari jingga pada kedua  manik matamu.

Mereka bilang aku sesat akal

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline