Lihat ke Halaman Asli

Cindy Wulan Dari

Educational Technology Student in UNJ

Kartini Masa Kini: Menjunjung Tinggi Pendidikan dan Emansipasi Perempuan

Diperbarui: 11 April 2024   00:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjuangan RA Kartini. Sumber : Kompas.com

Raden Adjeng Kartini, atau dikenal sebagai RA Kartini, adalah sosok inspiratif yang telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam sejarah perjuangan perempuan Indonesia. Lahir di Jepara pada 21 April 1879, Kartini tumbuh dalam keluarga bangsawan Jawa yang taat pada adat istiadat.

Meskipun memiliki akses pendidikan yang lebih baik dibandingkan perempuan kebanyakan pada masanya, Kartini tetap menyaksikan langsung perlakuan tidak adil yang dialami perempuan. Tradisi patriarki dan norma sosial yang kaku pada masa itu membatasi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.

Tergerak oleh kondisi tersebut, Kartini mendedikasikan hidupnya untuk memperjuangkan kesetaraan gender dan pendidikan bagi perempuan melalui pemikirannya.

Perempuan dan pendidikan, dua elemen yang berbeda namun tak dapat dipisahkan. Hakikat pendidikan adalah menciptakan keadilan yang berpihak pada semua orang, termasuk perempuan, karena pendidikan adalah bagaimana menciptakan keadilan yang humanis. Pendidikan memerlukan keseimbangan antara kekuatan dan kelembutan, logika dan intuisi, rasionalitas dan emosi, yang hanya dapat dicapai dengan melibatkan perempuan dan laki-laki secara setara.

Meskipun telah banyak kemajuan yang dicapai dalam memperjuangkan kesetaraan gender, perjuangan Kartini melawan patriarki masih jauh dari selesai. Realitas yang dihadapi perempuan di masa kini masih menunjukkan adanya kesenjangan dan diskriminasi yang berakar pada stigma dan stereotip gender. Stigma-stigma ini terus dilestarikan oleh budaya patriarki yang membatasi peran perempuan dan menghambat potensi mereka.

Anggapan bahwa perempuan tidak perlu menempuh pendidikan tinggi masih marak terdengar. Baik dari laki-laki maupun sesama perempuan, pemikiran ini berakar pada stereotip kuno bahwa peran perempuan hanya terbatas pada mengurus anak, rumah, dan dapur. Seolah-olah pengetahuan luas yang dimiliki oleh perempuan adalah hal yang sia-sia.

Sumber : databoks.katadata.co.id

Selain ranah pendidikan, ketimpangan gender dalam bidang ketenagakerjaan juga masih menjadi isu dan permasalahan yang sering terjadi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ketimpangan gender dalam partisipasi angkatan kerja (TPAK) di Indonesia. Pada tahun 2018, TPAK laki-laki jauh lebih tinggi, yaitu 83,01%, dibandingkan dengan TPAK perempuan yang hanya 55,44%. Ketimpangan ini terus berlanjut pada tahun 2019, dengan TPAK laki-laki mencapai 83,18% dan TPAK perempuan 55,5%. Kenaikan TPAK dari tahun ke tahun pun lebih tinggi pada laki-laki (0,17%) dibandingkan perempuan (0,06%).

Hal tersebut menunjukkan bahwa female labor force participation atau partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia hanya 54 persen. Angka tersebut masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan angkatan kerja laki-laki sebanyak 83 persen.

Salah satu faktor utama yang menyebabkan rendahnya Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan di Indonesia adalah faktor budaya dan norma yang masih berlaku di sebagian besar masyarakat. Norma tradisional yang menempatkan peran domestik perempuan lebih penting daripada peran transisinya masih kuat. Hal ini menyebabkan perempuan memiliki kecenderungan untuk tetap di rumah dan merasa bertanggung jawab penuh atas urusan keluarga, sehingga menolak untuk memasuki pasar kerja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline