Lihat ke Halaman Asli

Cindy Silviana

penulis, pecinta lingkungan, dan ingin memberi dampak positif bagi lingkungan dan sosial melalui tulisan

Menikmati Ritual di Balik Secangkir Teh

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1352564417665112691

[caption id="attachment_208580" align="alignleft" width="300" caption="*dok: Ratna Somantri"][/caption] Aroma bunga chamomile sekejap merebak saat air panas tertuang dari sebuah teko di atas cawan yang berisi the teh. Ternyata, tak hanya aroma chamomile, beberapa teh di masing-masing cangkir memiliki aroma yang berbeda-beda. Itulah yang dirasakan oleh sekelompok pecinta teh saat berkumpul untuk menikmati beragam teh dari nusantara. Meski berasal dari satu negara yang sama, masing-masing teh dapat memiliki aroma khas sendiri yang tak bisa dibandingkan dengan daerah yang lain. "Umumnya, teh Indonesia aromanya bunga, tapi rasanya seperti buah," jelas Bambang Laresolo, salah satu moderator dan penggagas komunitas pecinta teh yang berdiri sejak tahun 2007. Komunitas pecinta teh sendiri berawal dari gagasan Bambang Laresolo dan beberapa kawannya yang sejak lama tergabung dalam komunitas kuliner Jalan Sutera. "Saya menemukan 'passion' saya sejak tujuh tahun lalu, dan ternyata ada beberapa rekan yang memiliki passion dan hobi yang sama. Jadi kami sering kumpul bareng," ujarnya. Hampir tak terhitung berapa jenis teh yang pernah ia icipi. Dalam sehari saja, ia bisa menyeruput 5 hingga 6 jenis teh yang berbeda. Kebanyakan teh tersebut ia dapatkan dari kiriman orang-orang pecinta teh yang gemar membaca tulisannya pada blog "Kedai Teh LareSelo". Tentunya dari ratusan jenis teh yang pernah ia icipi, ada sejumlah teh yang paling ia favoritkan. Seperti teh hijau Long Jing yang berasal dari daerah Hangzhou, Cina; Darjeeling dari India. Bahkan, teh lokal seperti white tea Dewata dari Bandung, teh hitam dari Wonosobo, dan teh Oolong dari Bengkulu pun tak kalah kualitasnya dari teh impor. Namun, diantara semua jenis, teh hijau Gyokuro asal Jepang telah memikat hatinya hingga kini. Tak tanggung-tanggung, ia mengol0eksi berbagai macam teh dan peralatannya, mulai dari puluhan ribu hingga jutaan rupiah. "Harga teh itu variasi. Kalau ingin teh hitam yang kualitasnya baik, biasanya mengocek Rp 10.000 sudah dapat 10 gram. Namun, kalau sudah bicara soal teko dan peralatannya, harganya bisa mencapai Rp 14 juta tergantung kualitasnya," jelas Bambang yang kini belajar ritual minum teh "Chanoyu" ala Jepang . Ia sendiri telah memiliki pengaduk teh dari bambu, chasen seharga Rp 250 ribu, furo, kompor tradisional dengan arang ala Jepang,  ceret dari Jepang senilai Rp 1 juta, kimono, sepatu, dan kipas sebagai perlengkapan dalam ritual minum teh Jepang. Dari kecintaannya pada teh dan pengalaman yang ia peroleh dalam komunitas, akhirnya ia mencoba membuka kedai teh Laresolo yang berlokasi di Bogor sejak dua tahun lalu. "Sebenarnya kedai ini agak setengah gambling, karena berbisnis teh itu unik, bukan kita yang mengikuti pasar, tapi menciptakannya," paparnya. Di kedai ini pula, ia dan para pecinta teh lain sering berkumpul berbagi pengalaman, eksperimen, dan teh jenis baru yang mereka dapatkan selama berburu dari berbagai negara. Selain Bambang, sosok yang tak boleh terlupakan dalam membesarkan komunitas ini ialah seorang pakar teh Ratna Somantri. Sejak kecil, perempuan berparas cantik ini mengaku sudah mengenal teh dari keluarganya. "Dari dulu ibu saya suka sekali minum teh, bahkan lebih sering minum teh ketimbang air putih, namun awalnya saya menganggap teh itu biasa, hingga saya bersekolah di Sydney dan tinggal bersama dengan keluarga angkatnya yang berasal dari Inggris, dari situlah pemahaman teh mulai terbuka luas" ujar Ratna. Sekembalinya di Jakarta, ia diajak dengan teman sekolahnya untuk membuka Cawan Tea House. Seperti kata pepatah, tuntutlah ilmu hingga ke Cina, maka ia pun mempelajari beragam jenis teh dan cara meramunya mulai dari Kuala Lumpur, Hongkong, hingga ke negeri Tirai Bambu. Namun, keterlibatannya dalam bisnis kedai teh tak berlangsung lama. Ia lebih mencintai profesinya sebagai seorang pakar teh, yang bisa berbagi ilmu dan khasiat teh. Maka, dipertemukanlah ia dengan Bambang dan beberapa pecinta teh lainnya, dan melahirkan komunitas ini. Tak cukup hanya disini, keseriusannya pada dunia teh membawanya bolak-balik ke beberapa negara untuk berburu macam-macam teh, peralatan, hingga belajar memahami ritual minum teh. "Untungnya saya punya pekerjaan sampingan sebagai pembicara teh. Jadi biasanya saya sisihkan uang dan waktu untuk pergi jalan-jalan sekalian mampir mengenal teh yang khas dari negara tersebut," ujarnya. Dari beragam jenis teh yang pernah ia cicipi, Ratna mengaku paling mencintai teh hijau Gyokuro asal Jepang dan teh oolong dari Cina. Ia pun sering bolak-balik ke Jepang untuk mempelajari ritual upacara minum teh. "Pernah suatu kali saya menemukan satu-satunya teko teh yang menang lomba dan harganya pun tak sampai Rp 1 juta, jadi saya beli," ujarnya. Koleksi teh dan pernak-pernik yang ia punya dapat melebihi 100 jenis. Mulai dari Cina, Jepang, Korea, hingga Eropa pernah ia jajaki sambil berburu peralatan dan koleksinya. Soal harga, ia mengaku tidak terlalu mahal karena pernak-pernik yang ia dapatkan biasanya didapat dari para pengrajin teh dan bukan merek mahal. Tak jarang, teh dan ilmu yang ia dapat dari negara lain, ia bagikan kepada komunitas. Setiap sebulan sekali, komunitas pecinta teh ini berkumpul, sambil membawa teh masing-masing dan mencicipinya. "Setiap bulan ada temanya sendiri. Misalnya kalau temanya teh Korea, kami berkumpul di restoran Korea dan tinggal minta air panas untuk menyeduh teh yang dibawa," tambahnya. Adapun dalam komunitas, salah satu pecinta teh merupakan pemilik kebun teh, sehingga para anggota mendapat kesempatan untuk berkeliling mengenal teh nusantara dan sering mendapat harga spesial teh lokal. Bicara soal teh lokal, bagi Ratna dan komunitas, masih sedikit teh lokal yang memiliki kualitas premium. "Kebanyakan teh di Indonesia itu masih favorit teh dalam kemasan. Padahal masih ada teh lokal yang gradenya tinggi. Maka itu, kami ingin agar orang lebih mengenal teh lokalnya sendiri dan mendorong kualitas teh di Indonesia," ujarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline