KRONOLOGI
Pada 1 Oktober 2022, Tragedi Kanjuruhan mengguncang Indonesia dan dunia. Sebuah pertandingan sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Malang, berakhir dengan kekacauan yang menewaskan 135 orang dan melukai ratusan lainnya. Insiden ini tidak hanya menyoroti masalah keamanan di stadion, tetapi juga mengungkapkan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia (HAM) dan tantangan bagi demokrasi di Indonesia. Pertandingan antara Arema FC dan Persebaya Surabaya dimulai dengan tensi tinggi, mengingat rivalitas yang sudah lama antara kedua klub. Ribuan suporter memadati Stadion Kanjuruhan dengan harapan melihat tim kesayangan mereka meraih kemenangan. Atmosfer pertandingan sangat intens, dengan dukungan fanatik dari kedua kubu suporter yang memenuhi stadion.
Namun, pertandingan berakhir dengan kekalahan mengecewakan bagi Arema FC, kalah dengan skor 3-2 dari Persebaya Surabaya. Kekecewaan mendalam melanda para suporter Arema FC. Beberapa suporter yang kecewa mulai merangsek ke lapangan, memicu kekacauan. Pihak keamanan yang bertugas, dalam upaya mengendalikan situasi, mulai menggunakan gas air mata untuk membubarkan massa. Penggunaan gas air mata ini, yang menurut regulasi FIFA dilarang di dalam stadion, justru memperburuk situasi. Ketika gas air mata ditembakkan ke arah kerumunan suporter di tribun, kepanikan pun terjadi. Ribuan suporter berdesakan untuk keluar dari stadion melalui pintu-pintu yang ternyata tidak memadai untuk menampung jumlah orang yang begitu besar dalam waktu singkat. Pintu keluar yang sempit dan terbatas menyebabkan banyak suporter terjebak, tidak dapat keluar dengan cepat. Dalam situasi panik, banyak orang jatuh dan terinjak-injak oleh yang lainnya yang mencoba menyelamatkan diri.
TINJAUAN KRITIS MENURUT PERSPEKTIF DEMOKRASI DAN HAM
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM menggariskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dapat dilakukan oleh individu maupun aparat negara melalui tindakan atau kelalaian yang merugikan hak asasi individu atau kelompok. Dalam konteks Tragedi Kanjuruhan, negara dinilai gagal menjalankan tiga kewajiban utama dalam HAM: menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) (Wibowo, 2024).
TO RESPECT
Kewajiban menghormati (to respect) berarti negara seharusnya tidak melakukan tindakan yang melanggar integritas dan kebebasan individu. Dalam kasus Tragedi Kanjuruhan, penggunaan gas air mata di dalam stadion merupakan contoh nyata pelanggaran ini. Gas air mata, yang dilarang dalam stadion menurut regulasi FIFA, memiliki efek yang mematikan dalam situasi keramaian seperti yang terjadi di Stadion Kanjuruhan.
TO PROTECT
Kewajiban melindungi (to protect) menuntut negara dan aparatnya untuk mengambil langkah-langkah pencegahan terhadap pelanggaran hak. Dalam Tragedi Kanjuruhan, kegagalan memastikan keselamatan suporter di stadion merupakan bentuk kelalaian yang fatal. Pihak keamanan yang tidak dapat mengendalikan situasi tanpa menyebabkan kepanikan dan desakan massa menunjukkan kurangnya persiapan dan pelatihan yang memadai.
TO FULFILL
Terakhir, kewajiban memenuhi (to fulfill) mengharuskan negara untuk memastikan hak-hak dasar, seperti keamanan dalam acara publik. Ketidakmampuan menyediakan sistem keamanan yang memadai di Stadion Kanjuruhan menunjukkan kegagalan dalam memenuhi hak asasi para suporter. Namun, pada hari itu, akses keluar yang tidak memadai, kurangnya jalur evakuasi darurat, dan penggunaan gas air mata membuktikan bahwa negara tidak mampu menyediakan lingkungan yang aman bagi warganya.