Millennial, generasi Z dinilai sebagai orang yang produktif, tentu karena kemajuan teknologi yang mendukung akan membawa perubahan besar ke masa depan. Namun hal yang perlu disadari lebih lagi, ada yang lebih dari 'produktivitas' remaja sekarang.
Akhir-akhir ini kita mendengar kata toxic productivity (secara singkat adalah produktivitas yang tidak sehat) dan hustle culture (budaya kerja secara terus menerus). Apakah semua ini dan mengapa dibicarakan?
Deadline menumpuk, rapat organisasi hampir setiap hari, bangun pagi, bekerja non stop sampai begadang lagi. Itulah kiranya gambaran para pemuda-pemudi zaman sekarang.
Banyak dari mereka yang terjebak dalam toxic productivity terutama saat masih pandemi. Waktu-waktu saat di rumah adalah hal yang membuat orang lain merasa harus bekerja 24/7 karena waktu di rumah harus digunakan sebaik mungkin. Alasan remaja bervariasi, ada yang mau membantu orang tua, mencapai kebebasan finansial sedini mungkin, dll.
Faktor lainnya juga adalah kecenderungan remaja untuk membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain (yang dimaksud orang lain adalah orang yang kurang lebih sama umurnya dengan mereka). Mereka merasa gagal jika belum mencapai kesuksesan di usia muda dan selalu membandingkan.
Sebagai seorang remaja, diriku juga merasa sedemikian rupa. Awalnya sadar bahwa diri tetap harus produktif di rumah dan bagaimanapun caranya harus menyibukkan diri, jika tidak ada kesibukan, maka aku mulai mencari kesibukan-kesibukan lainnya.
Sampai di titik diriku sendiri mengalami burn out, tubuh lemas, tidak bersemangat bahkan untuk hobi yang kusukai, kepala pusing, penuh pikiran tetapi malas untuk mengerjakan, kadang aku sempat berpikir bahwa diri adalah yang termalas di dunia hanya karena tidak bekerja 2-3 hari. Diriku tersadarkan bahwa aku telah jatuh kedalam toxic productivity dan menerapkan budaya hustle culture.
Terdapat banyak pro dan kontra mengenai hustle culture. Di satu sisi, hustle culture dianggap budaya yang sia-sia karena penelitian membuktikkan bekerja dengan istirahat dengan bekerja 24/7 (kerja terus menerus), hasilnya akan sama saja bahkan bisa lebih dengan istirahat.
Waktu istirahat sebenarnya berguna bagi kita untuk refresh pikiran, benar-benar membuat keputusan yang matang, fokus kepada hal yang lebih sedikit sehingga bisa mengembangkan, daripada harus fokus ke hal yang banyak tetapi tidak ada yang maksimal di dalamnya.
Di sisi lain, ada beberapa orang yang tetap menerapkan budaya hustle. Mereka ingin bekerja terus agar merasa diri mereka produktif. Tidak ada yang salah juga menjadi seorang hustle, namun kamu juga harus mengingat bahwa istirahat adalah hal yang penting juga. Ada beberapa dari mereka yang cocok dengan budaya ini, tetapi banyak dari mereka juga yang tidak. Semua itu balik ke pilihan masing-masing.
Sampai sini dulu pesanku, sampai jumpa.