" Semua sudah siap? Jangan ada yang ketinggalan ya? set koroner? CTS? EVH? Kanul set plus oksigenator? Obat anestesi, NTG, protamin, CACl2?" Saya melakukan pengecekan terakhir semua perlengkapan untuk keperluan pembedahan jantung, sebelum berangkat ke bandara. Ya, hari ini tim kami berangkat "lagi" ke Aceh untuk melakukan operasi jantung di sana.
Ada kerja dan beban mental yang berbeda ketika harus melakukan operasi jantung di luar rumah sakit sendiri, apalagi di pusat-pusat jantung yang baru dibuka, dengan ekspektasi keberhasilan yang sudah ditentukan, tidak boleh ada kesalahan, zero mortalitas dan morbiditas alias pasien harus selamat semua. Dibalik kelegaan ketika semua operasi berhasil diselesaikan dengan baik, tak dapat dipungkiri, kelelahan yang dirasa ternyata luar biasa.
Belajar dari pengalaman, menceritakan kelelahan kepada orang lain, apalagi membahasnya atau menceritakannya berulang-ulang ternyata sama sekali tidak bermanfaat. Rasanya malah semakin lelah karena seperti memanggil seluruh kepenatan yang telah dialami sebelumnya. Apalagi kalau sebelum pergi atau pada saat ngobrol membicarakan tentang bagaimana nanti bakal lelahnya kita di sana bekerja, wah! yang ini lebih parah... kerja belum dimulai tapi sudah dapat lelahnya.
Tapi herannya, saya lihat, banyak sekali orang yang suka berbicara topik ini. Entah itu disengaja sebagai upaya yang dianggap sebagai pelepasan stres atau tanpa disadari sebagai bagian obrolan saja. Dan coba perhatikan pula, hebatnya, dari topik obrolan ringan ini bisa dengan cepat merembet kemana-mana, soal kerjaan, penghasilan, peluang usaha, kuliner dan lain sebagainya, ada yang sekedar curhat menceritakan kepenatannya, tapi tidak sedikit pula yang seolah pamer betapa keras dan berat pekerjaannya, tidak heran banyak yang suka ya?.
Walau masih dalam tahap belajar, saya sudah cukup lama rasanya, berusaha meninggalkan topik ini dalam setiap pembicaraan. Karena rasanya, membahas usaha untuk mengantisipasi lelah itu sudah bikin lelah sendiri. :)
Kalau menurut teori, seorang dewasa memerlukan minimal 4-6 jam waktu untuk tidur. Dan rasanya, sudah lama tidak pernah lagi menghitung waktu tidur saya. Yang terbaik untuk saya adalah mensyukuri berapapun waktu yang saya peroleh untuk istirahat dan selalu merasa cukup dengan itu, tanpa pernah menghitung jumlahnya. Saya berusaha mengambil kesempatan untuk beristirahat seberapapun yang bisa. Lima belas menit waktu untuk dapat memejamkan mata, antara siang-sore hari sudah cukup rasanya untuk mengembalikan energi. Tidur disini jangan selalu diartikan meletakkan badan dalam posisi tidur di tempat tidur. Memejamkan mata sejenak sambil bersandar di kursipun bisa cukup menghasilkan kualitas istirahat yang baik.
Walaupun ada pola metabolisme dan jam biologis standar, tapi sifatnya bisa menjadi sangat individual. Jumlah jam tidur, pola makan, pola hidup, olahraga, jenis pekerjaan, kebiasaan/ pola asuh sejak kecil adalah beberapa diantaranya yang akan berpengaruh pada kebutuhan istirahat masing-masing orang. Setiap orang biasanya menjadi yang paling peka terhadap kebutuhan biologis dan jumlah waktu istirahat dirinya sendiri.
Jadi, kenali, bersahabat dan lebih pekalah dengan diri anda, tubuh kita akan memberi sinyal- sinyal kebutuhannya. Cintai dan nikmati semua yang dikerjakan. Hindari dan jangan lagi membicarakan kelelahan, karena itu hanya akan membuat lelah dan mengundang kelelahan itu sendiri.
Syukuri berapapun waktu yang kita punya untuk beristirahat dan coba perhatikan....kelelahan itu akan hilang dengan sendirinya. CB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H