Lihat ke Halaman Asli

Heaven On Earth di Jiuzhaigou

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tahun lalu, adik saya yang sedang mengambil sekolah bahasa di Cina berulang kali menyebutkan satu nama tempat yang ia ingin kunjungi di Cina, tetapi memang letaknya cukup jauh dari tempatnya belajar saat itu. Kebetulan sekali, pada pertengahan tahun lalu saya berkesempatan mengunjungi Negeri Tirai Bambu ini dan akhirnya kami pergi ke tempat yang disebut-sebut "Heaven On Earth" oleh orang-orang China lokal. Ini adalah sekilas mengenai perjalanan kami ke tempat yang sejuk, indah, dan memuaskan mata serta hati itu.

Tiba di Jiuzhai-Huanglong

Sore itu matahari hampir beranjak ke Barat ketika kami tiba di bandara Jiuzhai – Huanglong. Pemandangan dari atas pesawat tadi sungguh mencengangkan. Di kanan dan kiri hanya terlihat pegunungan, berderet-deret bagaikan pasukan yang berbaris rapi. “Wahh…”, seruku dalam hati. “Aku sudah sampai di mana nih? Kok rasanya seperti di Swiss dengan pegunungan Alpen-nya?”. Pesawat kami mengalami sedikit guncangan sebelum mendarat tadi, mungkin karena angin kencang yang bertiup di pegunungan.

Memasuki bandara yang kecil, kami sudah mulai merasakan dinginnya tempat ini. Adikku dan temannya mampir ke toilet untuk mengganti celana pendeknya dengan celana jeans panjang. Waktu dari bandara Chengdu tadi udara memang terasa panas, tetapi perjalanan 45 menit ternyata membawa kami ke daerah yang berbeda 180 derajat. Temperatur saat itu menunjukkan 14 derajat Celcius, tetapi angin dingin yang kencang dan menusuk kulit membuat kami bergidik dan tak tahan berada di udara terbuka.

Tour leader kami yang merupakan orang lokal setempat menunjukkan bus kami yang telah menanti dengan setia di parkiran bandara. Beberapa menit kemudian kami langsung berangkat menuju hotel. Perjalanan berliku melewati padang hijau dan pegunungan di samping kanan dan kiri membuat kami mengangguk-angguk kagum. Dalam biasan cahaya yang sedikit temaram seiring menjelang terbenamnya sang surya kami meneruskan untuk mereguk pemandangan tersebut sepuas-puasnya. Hijaunya pohon-pohon dan rerumputan rasanya harus diabadikan dengan handy cam dan kamera.

Jiuzhaigou merupakan daerah yang masih perawan dan belum tersentuh tangan-tangan modernisasi. Berbeda dengan kota-kota di Cina lainnya, Jiuzhaigou dibiarkan tumbuh dengan liar dan alami. Dari semua kota yang telah saya kunjungi di Cina hanya daerah Jiuzhai – Huanglong ini yang masih sejuk, udaranya masih fresh tanpa polusi. Dunia benar-benar perlu lebih banyak tempat seperti ini.

Letaknya yang dekat sekali dengan Tibet, menjadikannya sedikit unik. Kita dapat menemui rumah-rumah adat Tibet di sepanjang jalan. Bendera warna-warni khas Tibetan juga memenuhi perkampungan di sana. Mereka juga menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa Nasional Cina, ada bahasa daerah sendiri yang lebih sering dipakai, seperti halnya jika kita pergi ke daerah lain di Indonesia.

Perjalanan dua jam menuju hotel membuat kami sedikit mengantuk, tetapi tour leader kami yang tugasnya memang menghibur terus saja berceloteh di depan sana. Walaupun tidak mengerti bahasa yang digunakan olehnya, saya cukup menikmati hiburan berupa nyanyian yang dikumandangkannya.

Kegelapan telah meliputi, tetapi cahaya dari hotel-hotel di pinggir jalan sungguh indah dan memikat. Beberapa hotel dibangun dengan bagus sekali dan menampakkan kemegahannya di waktu malam. Bukan hotel berlantai puluhan dengan fasilitas nomor wahid, tetapi yang tampak hanyalah hotel berlantai empat atau lima dengan lampu-lampu yang menyoroti bangunan hotel sehingga membuatnya tampak anggun di malam hari. Kebanyakan hotel memiliki perapian dan memungkinkan untuk membuat api unggun sambil membakar daging untuk makan malam.

Taman Wisata “Jiuzhaigou Valley”

Hampir semua orang lokal di Cina mengatakan bahwa Jiuzhaigou adalah tempat terbaik di negeri panda ini. Bukan hanya karena pemandangannya yang memang elok nian, tetapi karena konon kita bisa merasakan sekejap “Surga” di dunia. Penasaran dengan apa yang mereka terus promosikan kepada saya, akhirnya saya menyerah juga untuk pergi ke sana, apalagi dengan adanya teman seperjalanan yang sama-sama suka berpetualang, membuat saya semakin bertekad untuk berangkat.

Pagi itu kami semua dibawa ke taman wisata yang tersohor tersebut. Kami dan rombongan tur beriringan menaiki taksi. Satu taksi dapat diisi max. 4 orang. Hanya perlu RMB 12 (Rp 18,000) untuk menuju taman wisata Jiuzhaigou dari hotel kami. Sampai di sana, banyak orang telah berkumpul di depan gerbang untuk masuk. “Sedang musim liburan, jadinya ramai”, celetuk adikku. Aku setuju dengannya. Saat kami pergi ke sana, merupakan masanya liburan musim panas, jadi hampir seluruh penduduk Cina sedang berlibur dengan keluarga ke tempat-tempat wisata. Salah satu yang pastinya dikunjungi adalah tempat ini.

Taman wisata Jiuzhaigou paling banyak didatangi pada musim panas dan gugur. Selain anak-anak memang sedang liburan saat musim panas, kebanyakan turis juga disarankan untuk mengunjungi Jiuzhaigou di musim gugur, karena pemadangannya akan jauh lebih indah dan berwarna-warni. Dari promosi foto-foto yang ada, mereka menampilkan pemandangan Jiuzhaigou di ke-empat musim. Semuanya memiliki keindahan tersendiri, tetapi yang paling indah memang pada saat musim gugur dengan pohon berdaun merah, kuning, berpadu dengan air di danau yang juga berwarna, sungguh sedap dipandang mata.

Untuk masuk ke dalam taman, ada 2 alternatif perjalanan. Satu, dengan berjalan kaki. Dua, dengan naik bus atau mobil transportasi yang disediakan gratis untuk mengelilingi taman. Untuk menghemat tenaga, kami naik bus dari pintu gerbang sampai menuju danau paling ujung yang berada di tempat tertinggi di taman itu. Perjalanan naik biasanya bus tidak berhenti sembarangan, tetapi saat perjalanan turun bus akan berhenti di setiap halte atau scenic spot yang ada.

Pertama-tama kami menaiki bus sampai menuju “Gran Lake” yang berada di bagian sebelah kanan taman. Dalam perjalanan menuju ke atas, kami melihat deretan danau dan air terjun di sepanjang jalan. Semua orang dalam bus berdecak kagum melihat pemandangan di setiap danau yang dilewati. Warna hijau dan biru yang mendominasi di sana. Hijau dari pegunungan dan biru kehijau-hijauan dari danau membuat mata dimanjakan dan terasa sejuk sekali.

Sampai di sana, para rombongan turis langsung turun untuk mengagumi danau besar yang permukaanya seperti cermin itu. Orang-orang langsung mengambil spot-nya masing-masing untuk berfoto sambil berjalan menuju danau yang lainnya.

Tujuan berikutnya adalah “Swan Lake”. Menuju danau ini cukup berjalan kaki dari “Gran Lake” karena jaraknya yang terbilang cukup dekat. Nama “Swan Lake” diberikan kepada danau yang menjadi habitat para bebek di taman ini. Keindahan danaunya hampir mirip dengan “Gran Lake”. Sekalipun banyak bebek di sana, kita tidak diperkenankan memberi makan bebek-bebek tersebut untuk menghindari kerusakan ekosistem di sana. Kita juga tidak diperbolehkan untuk membuang sampah dan merokok di kawasan taman nasional ini, karena dapat mengganggu keseimbangan alam di dalamnya. Bus-bus yang digunakan di dalam taman-pun tidak menggunakan bahan bakar minyak sebagai energi.

Menuju ke danau berikutnya kami memilih untuk menaiki bus, karena jaraknya cukup jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki. Tetapi, dari tempat berikut ini menuju ke deretan danau yang lain dapat melalui jalan setapak yang di kanan dan kirinya terdapat pemandangan berupa air terjun dan hutan bakau. “Arrow Bamboo Lake”, “Panda Lake”, “Five-Flower Lake”, “Peacock River”, “Golden Bell Lake”, dan “Pearl Shoal Fall” adalah beberapa scenic spot yang harus dilihat di sana. Yang paling mengagumkan adalah air di setiap danau selalu berwarna hijau dan biru, tetapi airnya tetap bening, kita dapat melihat ke dalam danau, sekaligus danau bisa menjadi cermin yang memantulkan pemandangan gunung atau pohon di atasnya. Tetapi saat mengalir dari satu danau ke danau lainnya, warna air hanya bening biasa seperti air pada umumnya. Memang ada yang istimewa dengan masing-masing danau di sana sehingga dapat memancarkan warna-warni tersendiri.

Melaju ke “Mirror Lake”, di sana kami melihat pantulan sebuah gunung besar di atas danau yang juga cukup besar. Melewati danau tersebut dengan berjalan kaki, gunung itu tetap memantul di atas danau yang benar-benar seperti cermin tersebut. Seolah-olah merupakan satu kesatuan keduanya. Saya hanya bisa membayangkan pemandangan seperti ini sebelumnya di lukisan-lukisan alam saja.

Perjalanan kami dari pagi hingga siang itu bermuara di sebuah pondokan seperti rumah makan kecil di pinggir hutan. Tempat makan ini hanya menjual jagung rebus hangat dan beberapa makanan instan. Jika ingin makan yang lebih berat kami harus pergi ke pusat rest area dan di sana makanan yang dijual cukup mahal karena semua restoran menerapkan konsep all you can eat. Jadi, kami harus berpuas dengan makan jagung rebus dan makanan kaleng saja. Kami sangat menyarankan untuk membawa makanan kering seperti abon, ikan kalengan yang dapat langsung dimakan, dan roti. Di tempat ini sulit sekali untuk mencari makan, jadi jika kita sudah membawa bekal, kita dapat makan di pondokan atau di kursi-kursi dalam taman yang telah disediakan untuk beristirahat.

Setelah selesai berisitarahat dan menyantap makan siang yang sederhana, kami beralih ke sisi sebelah kiri dari taman ini. Perjalanan menuju ke tempat terjauhnya membutuhkan waktu hampir 1 jam. Kami melewati desa tradisional Tibetan dan beberapa danau yang sudah hampir mengering airnya. Tapi, saat tiba di puncaknya kami dapat melihat pemandangan sebuah danau besar dengan gunung di sebelah kiri dan kanannya, mereka menyebutnya “Long Lake”.

Turun ke bawah, kami melewati hutan-hutan dan danau-danau kecil yang indah. “Multi-Color Lake” dan “Upper Seasonal Lake” adalah pemandangan danau yang dapat kami nikmati di sana. Setelah itu bus akan membawa kami kembali ke rest area yang berada di tengah taman.

Perjalanan dan pemandangan yang indah tak berhenti sampai di sana saja, sambil berjalan pulang kami melihat pula beberapa danau dan air terjun lagi, diantaranya “Nuorilang Fall”, “Rhinoceros Lake”, “Tiger Lake”, “Shuzheng Fall”, “Wolong Lake”, “Shuanglong Lake”, dan “Reed Lake”. Untuk turun dan melihatnya satu per-satu, kami sangat kekurangan waktu. Tak terasa kami telah satu harian berjalan-jalan di dalam taman besar itu. Pukul 5 sore kebanyakan turis telah berjalan pulang menuju pintu gerbang utama. Tour leader kamipun telah mengkontak kami terus-terusan karena kami sudah terlambat dari jam waktu berkumpul. Untungnya kami dapat berjalan pulang sendiri ke hotel dengan menggunakan taksi.

Pengalaman hari ini tidak akan terlupakan. Kami benar-benar seperti mencicipi “Surga” yang ada di bumi. Promosi orang-orang lokal di sana memang benar adanya. Tak heran kebanyakan dari mereka merasa harus pergi ke tempat ini sebelum meninggalkan dunia.

Kalau tahun ini Anda berencana untuk berwisata ke Cina, jangan lupa untuk menyisipkan Jiuzhaigou dalam agenda perjalanan Anda, dijamin tidak akan menyesal pergi ke sana. Mungkin dari 10 orang yang sudah pergi ke Jiuzhaigou, jika ditawarkan untuk kembali ke sana, saya rasa ke-10 orang ini ingin pergi ke Jiuzhaigou lagi.

Untuk menuju ke Jiuzhaigou ada 2 jalan yang bisa diambil dari kota Chengdu, pertama adalah jalan darat yang memakan waktu satu harian untuk mencapainya. Kalau Anda tidak tahan harus berlama-lama naik bus ditambah fasilitas jalanan yang kurang mendukung, Anda dapat menggunakan jalan kedua, yaitu lewat udara dengan naik pesawat terbang hanya memakan waktu 45 menit untuk mencapainya. Keduanya tentu ada kelebihan dan kekurangannya, tetapi supaya kita dapat menikmati waktu kita dengan lebih baik di Jiuzhaigou, pilihlah alternatif perjalanan yang paling nyaman untuk Anda.

Selamat berlibur!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline