Pagi itu saya duduk di pojok belakang, diantara 40 orang remaja dalam sebuah ruangan sempit tanpa AC, cukuplah kipas angin dan 4 jendela kecil, sebagai pengatur suhu dan sirkulasi udara. Sempat saya lihat jam tanganku menunjukkan jam 07:35, saat orang yang berumur setengah baya memasuki ruangan, dan itu tandanya, proses perkuliahan akan segera dimulai. Dari jauh saya perhatikan penampilan bapak itu, dia memakai kemeja warna hitam, dengan setelan celana kain bewarna gelap, kulihat juga sepatunya, vantofel hitam, yang bau semirnya masih bisa kucium.
Beberapa saat, kelas menjadi sunyi senyap, membuat suara laptop yang baru dinyalakan oleh bapak yang duduk di depan tersebut, terdengar begitu nyaring, mengisi keheningan kelas. Saya sempatkan melihat laptop yang menjadi sumber suara itu, dari jauh nampak ada gambar buah apel yang tidak utuh lagi disisi luarnya. Selanjutnya, sinar proyektor menyala, menarik perhatian kelas untuk fokus kedepan, dan mulailah si bapak itu bercerita seperti biasanya, perihal narasi besar, perihal teori-teori dan juga masalah sosial.
Dia jelaskan panjang lebar apa itu yang dinamakan masalah sosial, lantas apa itu kemiskinan. Bagi dia, kemiskinan itu disebabkan oleh manusianya sendiri, mereka malas bekerja, apalagi mereka yang tinggal di negara ini, bisanya cuma mengeluh, tanpa mau berusaha dan bekerja keras. Masalah-masalah sosial dijelaskannya dengan ringan, dalam hukum kausal, hukum sebab akibat, tak ubahnya rumus yang ada di ilmu alam. Dia bilang bahwasanya apa yang dikemukan tadi itu benar, karena sudah terlegitimasi oleh beberapa literatur yang telah ia baca. Penasaran, kuperhatikan buku-buku diatas mejanya, samar-samar dapat kubaca nama-nama tokoh barat dari sampulnya.
Dan bapak itu terus beretorika, dan retorikanya masih tetap sama, saat pertemuan pertama dimana waktu itu dia memperkenalkan dirinya, menceritakan latar belakangnya. Saya simpulkan kala itu, beliau adalah borjuis, dimana ketika melihat riwayat pendidikannya, rata-rata dia menempuh jalur pendidikan di sekolah-sekolah favorit, yang untuk masuk saja, dibutuhkan biaya ekstra.
Setelah 30 menit berlalu, dia akhiri dongengnya. Dibukalah sesi tanya jawab seperti biasanya, dan tentu saja, dengan aturan main yang sama pula, bahwa setiap argumen dan penjelasan harus didasarkan pada data. Tiba-tiba, seketika itu juga, ruang kelas menjadi ruang eksistensi, remaja-remaja berkacamata, berbicara, menjelaskan, menguraikan pandangan, dengan acuan buku yang kurang lebih sama dengan buku yang ada di meja depan.
Saya pun menyimpulkan teriakan-teriakan mereka, bahwa mereka masih berada dalam satu pandangan, dengan bapak tadi, bapak yang secara eksplisit menyatakan dirinya sang ahli tafsir realitas.
Sayang, Saya dapati kemudian, bahwa pandangan saya sedikit berbeda, mungkin hal ini dikarenakan pengalaman yang telah saya lalui dulu. Dimana selama 5 tahun bekerja menjadi buruh pabrik di kota Gresik. Kala itu saya mengerti dan mengalami benar, apa itu yang disebut orang dengan Kemiskinan. Miskin saya rasakan, saya alami, saya hidup di dalamnya, menjadi bagiannya, hingga membuat saya faham benar tentang arti kerja keras. Karena dulu, selama 5 tahun, saya gadaikan waktu luangku dengan kerja lembur. Saya putuskan itu semata-mata untuk menambah penghasilan yang pada waktu itu masih dibawah UMR (upah minimum regional).
Refleksi itu kemudian bertranformasi menjadi aksi, setelah mendapat ruang, saya putuskan untuk ikut mengada di ruang yang penuh dengan mitos ilmiah ini. Saya katakan apa yang saya alami, saya jelaskan apa itu kemiskinan, saya ceritakan apa itu kenyataan (realitas dilapangan). Saya ajukan pandangan, tanpa ada kutipan, hanya berdasar pada pengalaman, bukan dari buku-buku kebenaran. Saat dirasa cukup, saya akhiri cerita, disambut dengan wajah skeptis dan ragu dari penghuni ruang ilmiah.
Tanggapan telah saya perhitungkan, akhirnya... bapak itu menanggapi dongengan saya, beliau jelaskan dengan memposisikan diri sebagai juru kebenaran, beliau katakan, "saat ini kita sedang berada dalam ruang ilmiah mas..., ruang ilmu pengetahuan, dimana setiap pendapat atau pandangan harus didasarkan pada data, data yang bisa dipertanggungjawabkan".
Jelas, saya pahami bahwa beliau meragukan penjelasan saya tadi, akan pengalaman yang memang benar-benar saya alami. Mungkin, Hal ini semata-mata karena pandanganku tanpa dasar, dasar literatur (teks) yang katanya telah melewati uji kebenaran.
Memang dalam realitas, kebenaran selalu berbicara tentang kesepakatan. Dalam oposisi biner kita juga melihat perbedaan antara benar dan salah, benar haruslah tidak salah, dan salah itu berarti tidak benar. nah lho... berarti jika ada dua pandangan yang berbeda, harus ada yang menang dan yang dinegasikan, dan yang benar itu adalah hasil dari kesepakatan, begitulah ketika saya diajari tentang dialektika pengetahuan.