Lihat ke Halaman Asli

Ijinkan Aku Menangis

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Entah mengapa, Ayahku benci sekali bila melihat orang menangis. Jangankan orang dewasa. Kami, yang kala itu masih kanak-kanak tak berani menangis di depan Ayahku. Padahal, anak-anak cenderung mudah menangis bila mengalami sesuatu yang menyakitkan atau tak berkenan pada dirinya.

Namun kecenderungan itu tidak boleh terjadi di hadapan atau pendengaran Ayahku. Jika itu terjadi maka akan ada konsekwensi yang harus diterima.

Konon, menangis merupakan salah satu kodrat yang dimiliki manusia. Menangis adalah hak paling azasi yang dimiliki setiap manusia, bahkan juga sebagian binatang. Dan, bukankah menangis sebagai penyeimbang kondisi kejiwaan manusia?

Ketika masih kanak-kanak, apabila  ingin menangis kami harus pergi dari rumah. Biasanya kami akan pergi ke rumah Bude untuk meluapkan kepedihan itu. Bude, yang juga punya anak seusia kami segera memeluk seraya mengusap rambut kami. Anak-anak Bude biasanya akan ikut menangis meski mereka tak tahu penyebab kami menangis.

Pernah, suatu kali Bude tak ada di rumah ketika aku akan mengadukan duka laraku. Untuk mengurai kepedihan itu terpaksa aku harus mencari tempat yang aku anggap aman. Di tepi sawah ada sebuah gubuk yang biasanya dipakai untuk melepas lelah oleh para petani.  Di situlah kesedihanku aku tumpahkan.

Di tempat yang sunyi, aku bagai menemukan surga kecil. Surga kecil yang sangat nyaman untuk anak kecil  demi mengadukan sedepa rasa kecewa, marah dan sedih.

"Mengapa manusia tidak boleh menangis?" Pertanyaan itu muncul di sela-sela isak tangisku.

"Untuk apa Tuhan menciptakan air mata? Hanya sebagai pelumas bola mata saja?" Hm, pertanyaan sederhana dari seorang anak.

***

Aku terkejut ketika ada tangan manusia dewasa menyentuh tubuhku. Ternyata manusia dewasa yang  sempat membuatku terkejut itu Ibuku.

Seperti juga Bude, Ibuku memelukku, mengusa-usap rambutku. Sesekali rambutku diciumnya. Perasanku sangat damai kala itu. Sejuk, teduh. Mustinya aku harus berhenti menangis. Namun ketika aku merasakan tubuh Ibuku bergetar dan terisak, tangisku kembali pecah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline