Lihat ke Halaman Asli

Hermeneutika Text Jihad

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Filsafat diyakini sebagai ilmu pengetahuan yang  paling awal, tak jarang filsafat disebut sebagai ibunya para ilmu adapun epistimologi diyakini sebagai bapaknya ilmu. Seiring berjalanya waktu filsafat menelurkan banyak cabang keilmuan, sebut saja sosiologi, psikologi, atau bahkan ekonomi.  Menariknya, yang mereka butuhkan dari filsafat adalah sisi Epistimologinya. dari sini, satu persatu terbit cabang kelimuan lainya berbentuk filsafat psikologi, sosiologi, ekonomi dan lainya.

Salah satu cabang keilmuan filsafat lainya adalah Hermeneutik, menurut Gadamer, Hermeneutik adalah seni memahami sebuah tulisan (art of understanding). Mulanya, Hermeneutik digunakan untuk menginterpretasi text bible agar relevansinya dapat terus sejalan dengan zaman, lebih dari itu, kini Hermeneutik digunakan untuk memahami berbagai macam  text dan kitab suci, termasuk al-Quran. Lantas, apakah Hermeneutik dapat digunakan untuk mengisterpretasikan ayat-ayat al-Quran? al-Quran dan Bible sama-sama diyakini sebagai bagian dari rangkaian wahyu Tuhan. Bedanya, al-Quran adalah wahyu Tuhan berbentuk verbatim sementara bible adalah wahyu Tuhan berbentuk inspirasi, kedua-duanya memiliki  persamaan, yakni sama-sama mengkomunikasikan pesan ilahi melalui sebuah bahasa. Artinya, Hermeneutik memiliki kans untuk turut meramaikan bursa  interpretasi. Jauh sebelum Hermeneutik lahir, Islam sudah terlebih dahulu memiliki kajian ilmu tafsir, kendati demikian keduanya memiliki cakupan obyek penafsiran yang berbeda.

Dewasa ini, mempelajari Hermeneutik menjadi hal yang sangat penting. Pasalnya, banyak orang yang begitu mudahnya memahami ayat secara textual bukan kontekstual, pemahaman textual ini biasa juga disebut sebagai skriptualisme. Yang lebih menyedihkan, sebuah text atau ayat cenderung dipahamai sepotong-sepotong sehingga menghasilkan pemahaman yang tidak utuh. Kekeliruan ini terjadi lantaran sang pembaca mengabaikan beberapa aspek penting dalam upaya memahami sebuah text.

Schleiermacher dalam Hermeneutics Interpretation Theory menjelaskan, untuk memahami sebuah text sang pembaca harus terlebih dahulu merekonstruksi sejarah pada saat text itu dibuat. Lebih dari itu, sang pembaca pun harus mampu menghilangkan prasangka-prasangka sejarah yang tengah ia alami. Artinya, seorang pembaca dari Negara berkonflik dan pembaca dari Negara tak berkonflik akan menghasilkan interpretasi berbeda. Menarik memang memahami text-text dengan menggunakan kajian Hermeneutik. Dalam hal ini, penulis akan mencoba mengurai ayat-ayat jihad melalui studi Hermeneutik dengan terlebih dahulu merekonstruksi kontek historis text jihad.

Seperti kata pepatah mati satu tumbuh seribu, realita itu lah yang kini terjadi pada  pertumbuhan terorisme di Indonesia.  Dengan mengusung tema “jihad” para teroris ini tak segan segan meledakkan dirinya di tempat umum yang terdeteksi sebagai tempat maksiat. Iming-iming  72 bidadari di surga menjadi motivasi utama dalam setiap aksi terorisme mereka. Kamp pelatihan terorisme pun kian bertebaran, yang paling nyata ada di Aceh dan Poso. Di Aceh sempat santer terdengar sebuah kelompok yang menamakan dirinya sebagai Tandsim Al-Qoidah. kelompok ini berhasil melancarkan pelatihan terorisme secara terselubung di daerah Jantho, Aceh Besar. Polisi yang berhasil menggendus keberadaan mereka langsung menyisir area tersebut dan menangkap sedikitnya 30 orang tersangka teroris, beberapa diantaranya diketahui tewas.

Pertanyaanya sekarang adalah, apa yang meracuni pikiran mereka sehingga mereka berfikir bahwa jihad adalah membunuh dan berperang?  Oleh sekelompok kaum radikal di daerah berkonflik pemahaman jihad digiring menjadi sebuah aktivitas perang dan perlawanan. Pun, histori perang dalam sejarah islam klasik memang  diwarnai dengan berbagai macam kecamuk perang, mulai dari perang Shiffin, Jamal dan lainya. Tapi jika kita mau jujur, perang-perang yang bergejolak, musababnya bukan karena faktor teologis melainkan konflik sosial, politik dan ekonomi. teologi hanya dijadikan legitimasi untuk menghalakan pertumpahan darah diantara mereka.

Contoh nyata lainya adalah, perseteruan antara Ali dan Ustman yang murni dilatarbelakangi konflik sosial dan politik, perbedaan pembagian harta rampasan perang memicu konflik besar yang berujung pada terbunuhnya Ustman. Fenomena perang yang terjadi pada Syiah dan Sunni pun masih berkedok teologis. Padahal, politiklah yang menjadi motif utama pertikaian antar sekte ini.  Semua bermula saat khawarij menolak Ali dan Mu'awiyah, menurut mereka, perseteruan yang terjadi paska perang Shifin disebabkan kesalahan mereka berdua. celakanya lagi, mereka memvonis keduanya halal untuk dibunuh, posisi Syiah kala itu sebagai kelompok pro Ali dan kontra Mu'awiyah, sementara Sunni merupakan kelompok yang menerima kepemimpinan Mua'wiyah setelah terbunuhnya Ali. Dari sini jelas sudah, konflik politik berkedok teologis lah yang menjadi biang kerok.

Selanjutnya, Schleiermacher menghimbau pembaca untuk membandingkan antara suatu text dengan text lainya. Jika kita benturkan dengan ayat jihad, dalam al-Quran disebut kata jihad dan qatil, jihad bermakna perjuangan secara umum sementara qatil bermakna perang yang sesungguhnya. Jika ditelisik lebih dekat, ayat jihad umumnya diturunkan pada periode Mekkah dimana kondisi sosial kala itu  sedang dalam keadaaan kondusif, sementara ayat qatil diturunkan pada periode Madinah yang memang gemuruh perang kala itu sedang bergejolak. Di sini semakin jelas bahwa sebagian orang terjerembab dalam makna jihad dan qatil, jihad bukan berarti perang, sementara qatil meskipun diartikan berperang belum tentu menjadi bagian dari rangkaian jihad.

Ayat – ayat tentang peperangan yang menyebut kata Qatil secara gamblang Allah jelaskan melalui surat al-Hajj ayat 39 dan surat al-Baqarah ayat 190.

Dalam surat al-Hajj ayat 39 disebutkan :

Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.

Begitupun dalam surat al-Baqarah ayat 190 :

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Belakangan, terminologi jihad mengalami penyempitan makna menjadi perang saja. dalam tradisi sufi jihad dikenal sebagai Mujahadah (olah jiwa) sementara dalam tradisi intelektual dipahami sebagai ijtihad (olah otak) dan dalam perang identik dengan jihad yang bersingungan dengan aktivitas fisik. jika kita kembalikan makna jihad pada makna asalnya maka ketiga pemahaman diatas akan berkutat pada kata jihad saja. dapat disimpulkan, bahwa jihad tak mesti identik dengan bentuk fisik tapi juga meliputi perjuangan intelektual, emosional bahkan spiritual.

Menurut pakar Hermeneutik lainya, Hirsch dalam Hermeneutics Journal 12 Quran Text and Context, mengatakan, setiap text memiliki makna tunggal tapi signiifikansinya bersifat jamak. Terlebih, text jihad memiliki signifikansi yang berbeda-beda di setiap Negara, pengalaman sejarah si pembaca akan mempengaruhi dirinya dalam menginterpretasikan signifikasnsi ayat ini. Berbeda dengan Hirsch, Gadamer meyakini bahwa tidak ada kata yang memilki makna tunggal, setiap kata, menurut Gadamer akan memiliki makna yang berbeda ketika ditempatkan dan diucapkan di tempat yang berbeda.

Perbedaan interpretasi text jihad ini memang tidak terlepas dari munculnya berbagai macam sekterianisme dalam Islam, masing-masing sekte memiliki interpretasi sendiri terhadap suatu text, hal ini yang lantas menjadi kemelut dalam memahami al-Quran. Akibatnya, tidak ada interpretasi text dalam al-Quran yang kebenaranya bersifat universal, masing-masing sekte merasa memiliki interpretasi sendiri yang mereka anggap benar, setidaknya dengan mempelajari Hermeneutik dan ilmu tafsir secara menyeluruh akan membuat kita sebagai pembaca lebih bijak dan berhati-hati dalam memahami sebuah text, terutama pemahaman secara textual praktis yang hanya akan mengundang keprihatinan.

Di penghujung tulisan ini, melalui beberapa metodologi Hermeneutika Schleiermacher & Gadamer, dapat kita simpulkan bahwa jihad adalah perjuangan bukan peperangan. Makna jihad bisa berekembang sesuai dengan konteknya. Sementara qital hanya salah satu corak jihad yang beragam. Adapun jihad sebenarnya adalah bagian dari ayat situasional yang pemahamanya tidak bisa dipisahkan dari situasi,  perang bukanlah kebringasan untuk menyerang melainkan keterpaksaan untuk mempertahankan diri.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline