Dewasa ini, konvergensi fungsional antara parlemen dengan asas religiusme harus bersifat deliberatif sehingga substansi dari regulasi yang ditetapkan mewujudkan suatu integritas yang harmoni antara masyarakat dan pimpinan disertai aspek Ketuhanan.
Hal ini dilatarbelakangi oleh keinginan masyarakat dalam mewujudkan kemaslahatan yang tidak semata-mata untuk kaum kapitalis saja, akan tetapi berlaku untuk seluruh warga negara secara merata dan transparan. Inilah yang dimaksudkan dengan keterpaduan antara harasat ad-dun ya yang bersinergi dengan harasat ad-din.
Masyarakat dan Tuhan
Mayoritas masyarakat beragama di dunia mempercayai Tuhan. Urgensitas iman dalam kehidupan beragama merupakan bagian penting dari penataan keimanan dan penataan kehidupan beragama.
Pemahaman keagamaan dan penataan keimanan harus terinternalisasi dalam diri setiap anggota masyarakat. Penataan ini memiliki dampak yang cukup serius jika tidak ditinjau secara komprehensif, baik untuk masing-masing individu maupun interaksi antar sesama (proses bermuamalah). Karena jika hanya bermodalkan agama tanpa adanya iman, bisa saja memunculkan persepsi yang salah dan berakibat buruk.
Kesalahpahaman penataan terhadap eksistensi Tuhan akan memunculkan kesalahpahaman pula di dalam penataan kehidupan. Kesalahan dalam berfikir akan bedapak pada tindakan amoral seperti realita spiral kekerasan yang terjadi, aspek moralitas yang di-anak[1]tiri-kan, larangan kontestasi pendapat terhadap Pemerintahan. Ini mengakibatkan timbulnya inkonsistensi regulasi oleh para pemimpin. Dan akhirnya, disharmoni di kalangan masyarakat terjadi.
Gen Iman dalam Otak
Andrew Newberg dalam bukunya Born to Believe menjelaskan bahwasanya ketika otak membangun peta realitas-sadarnya, respon-respon emosi dalam rentang yang luas akan direkatkan kepada semua yang kita amati dan pikirkan melalui perasaan maupun panca indra.
Sebagian besar aktivitas otak melibatkan persepsi kita mengenai lingkungan sekitar dan keadaan internal tubuh yang dimana proses ini umumnya terjadi tanpa disadari.
Selanjutnya, masing-masing belahan otak menerima realitas dengan cara yang berbeda. Secara general dikatakan bahwa belahan kanan meraup secara spasial dunia seutuhnya lewat perasaan.
Sisi kiri mengubah realitas menjadi rangkaian ide yang dapat dikomunikasikan lewat bahasa kepada individu lainnya. Kedua belahan otak ini, ketika bekerja secara fungsional memberi kita rasa realitas yang jelas berbeda daripada rasa yang terbentuk ketika hanya salah satu bagian saja yang bekerja.