Lihat ke Halaman Asli

Cika Aprilia

Mahasiswa Antropologi Sosial, Universitas Diponegoro

Refleksi Penindasan Perempuan dengan Konstruksi Berlaku

Diperbarui: 13 September 2021   09:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perempuan Itu ilustrasi Hery Purnomo/Suara Merdeka

    Dalam kehidupan yang berjalan, perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama . Hak-hak yang sejalan adalah hak untuk hidup dan berekspresi sesuai dengan keinginannya. 

Namun dalam implementasinya penindasan perempuan terus berjalan hal ini ditandai dengan adanya standardisasi-standardisasi yang sebenarnya masyarakat sendiri yang membuat dan membangunnya. 

Momentum untuk merayakan kemerdekaan perempuan seringkali dikumandangkan dan dirayakan. Hal ini tidak dibarengi dengan refleksi bagaimana perempuan dapat menentukan nasibnya sendiri. Bahkan hak-hak dasar perempuan belum semuanya dapat terpenuhi dengan komperhensif.

Stigma yang berjalan perempuan yang menentukan nasibnya sendiri sering dikaitkan dengan perempuan yang memiliki ideologi dan pandangan hidup yang liar, tidak kodrati. Hal ini didukung dengan adanya bermunculan bahwa ruang lingkup perempuan hanya di "Dapur, sumur dan kasur" jika perempuan melakukan aktivitas di luar demikian sebagai perempuan yang "tidak memenuhi kodratnya".  istilah lain yang bermunculan adalah kodrat perempuan hanya "manak, macak dan masak". Sehingga pekerjaan domestik selalu berkaitan dengan perempuan.  Budaya patriarki yang berjalan terus menggerus eksistensi perempuan secara perlahan. 

Permasalahan bermunculan yang terus menggerus perempuan juga terlihat dengan munculnya "standardisasi cantik" yang berlaku. Perempuan dituntut memiliki tubuh yang langsing, tinggi, putih hingga hal-hal lain yang merugikan perempuan yang sebenarnya hal ini memenuhi komersialisasi dan melanggengkan kapitalisme dalam bidang kecantikan. 

Munculnya produk-produk pelangsing tubuh, hingga pemutih kulit terus berjalan. Hal ini juga di dukung dengan daya media yang berlangsung yaitu, komodifikasi iklan yang berlaku.

Hari refleksi perjuangan perempuan hanya dijadikan momentum perayaan dengan diskon-diskon yang sebenarnya arah pemenuhan pasar ekonomi, bukan refleksi bagaimana perempuan dapat menentukan kehidupannya sendiri, musuh-musuh perempuan sendiri adalah budaya patriarki yang berjalan yang seharusnya kita perangi bersama  . 

Kebebasan perempuan dalam pemenuhan hak-hak dasar sudah seharusnya digaungkan .  R. A Kartini yang menuliskan pandangan tentang "Habis Gelap Terbitlah Terang" sudah seharusnya di implementasikan, pada dasarnya musuh kita bersama adalah budaya patriarki bukan laki-laki.

     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline