Lihat ke Halaman Asli

Cika

...

Jangan Ikut Aku, Aku Tertipu

Diperbarui: 19 November 2022   23:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Entah apa lagi namanya, mencari jejak kata di KBBI saja sudah tidak ditemukan. Yang lebih ikhlas dari kata ikhlas. Yang lebih marah dari kata marah.

Pernah mengeluh tak pernah berhenti. Namun Tuhan memang selalu punya jawaban.

Siang itu, di depan teras Mama. Kursi coklat penuh debu yang sudah lama tidak bertemu kembali aku bersihkan. Sambil ku lap perlahan, kutatap tajam pintu samping rumah Mama.
Di pintu ini, biasanya aku bertemu sebelum aku berangkat kerja. Ku kecup Mama, kupeluk, kucium sambil menunggu petuah Bapa, "Kerja yang baik, kamu dan kakimu bertanggungjawab untuk masa depanmu".

Sesungguhnya aku lelah. Rasanya aku iri pada perempuan-perempuan di luar sana yang bisa tertawa kapan saja, yang punya jadwal reuni hampir sepanjang tahun, yang Post Story makanan-makanan viral, yang pamer tiket liburan dan yang paling penting yang kerjanya setelah bangun, panggil mbaknya, duduk di meja makan, post story lagi, dadah ke suaminya lalu post story lagi, mandi, antar anak dan kembali kocok arisan sambil kuliner makanan mahal.

Sementara aku, di pagi itu, adalah pagi yang kesekian kali, harus bangun jam 3 Pagi, ambil alih kerjaan Mbak, karena memang tidak pernah punya Mbak, tidak sempat dandan karena takut ketinggalan kereta, dan kembali berdoa semoga aku selalu kuat. Lalu mulai menghitung sisa uang setelah dipotong harga tiket kereta sambil berpikir, cukup tidak ya hingga aku diberi upah lagi bulan ini.

Lagi-lagi Bapak selalu kuatkan. Usahamu besar, In Sya Allah rezekimu besar.
"Aamiin Pak!"

Aku tak pernah terbuka dengan kesusahanku. Semua orang tidak akan pernah percaya bahwa aku juga bisa tidak punya uang. Tapi aku yakin Mama dan Bapak paham, sehingga sampai menuju pulang pun tak pernah sekalipun minta apapun kecuali aku yang membelikan.

"Tabung ya Neng. Perjalananmu masih sangat Panjang!"
Dan inilah ingkar pertamaku.

Uangku tak pernah kutabung. Bagaimana bisa. Untuk makan saja aku harus hitung. Karena jika kelepasan, maka nasi sambal harus cukup untukku. Untung saja lidahku terbiasa.
Namun saat bertemu Mama dan Bapak, makanan favorit menjadi pilihanku. Semata agar Mama dan Bapak tidak khawatir. Maaf ya...

Hingga akhirnya aku dipermainkan. Sore itu, aku yang seharusnya tinggal di rumah sakit memilih pulang sebentar. Mungkin aku penuh dosa sehingga Tuhan tak izinkan aku temani Mama dan Bapak di saat terakhirnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline