Peran bidang pertanian dalam pembangunan sudah tidak diragukan lagi, karena pada sektor ini sebagai penyedia bangan bagi penduduk, penyedia bahan baku bagi industri kecil dan menengah, penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB), penghasil devisa negara, penyedia lapangan kerja, dan sumber pendapatan utama sebagian besar penduduk di pedesaan. Petani dan keluarganya merupakan pelaku usaha yang utama dalam keberhasilan pembangunan di sektor pertanian.
Disamping kesempatan yang terbatas bagi perempuan di sektor pertanian. Adanya kultur budaya atau masyarakat juga menempatkan perempuan pada posisi yang terbatas.
Perempuan yang kaum lemah, tenaga kerja laki laki yang lebih kuat, membuat pekerjaan-pekerjaan tertentu pada kegiatan usaha pertanian hanya bisa dikerjakan oleh laki-laki. Sehingga perempuan yang memiliki yang memiliki fisik tidak kuat sebanding dengan laki-laki tidak diberi akses terhadap jenis pekerjaan yang menghandalkan kekuatan fisik.
Dominasi perempuan di sektor pertanian tersebut telah berlangsung lama dan dipandang sebagai sesuatu yang wajar. Memperhatikan peran sentral perempuan dalam kegiatan pertanian maka perempuan petani harus diberi kesempatan yang sama dengan lakilaki untuk memperoleh akses kepada lahan dan sumberdaya yang lain, seperti kredit, teknologi, dan pengetahuan.
Dengan demikian, upaya peningkatan efektivitas dan efesiensi pemanfaatan sumberdaya pertanian guna mengakselerasikan peningkatan kesejahteraan petani tidak dapat dipisahkan dengan peranan perempuan dalam pembangunan pertanian.
Terlepas dari kontribusinya dalam usahatani, umumnya perempuan petani adalah sumberdaya manusia yang masih diabaikan dalam program pembangunan pertanian. Kondisi ketertinggalan perempuan dapat menggambarkan dengan adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan antara lakilaki dan perempuan di Indonesia.
Pelaksanaan program pembangunan pertanian di tingkat desa menunjukkan bahwa laki-laki memiliki akses yang lebih tinggi terhadap program pembangunan dibandingkan perempuan.
Paradigma modernisasi pembangunan pertanian yang mengutamakan prinsip efisiensi ternyata telah membawa berbagai perubahan masyarakat pertanian dalam struktur sosial, budaya dan politik pedesaan, terutama dalam struktur ekonomi pedesaan.
Terbukti bahwa distribusi sumber daya pertanian tidak memberikan kesempatan yang sama berdasarkan gender. Pilihan dan partisipasi perempuan dalam proses pembangunan sangat terbatas, menuntut perempuan untuk mengatasi banyak hambatan untuk mendapatkan akses dan kontrol. Dalam rangka penyebarluasan teknologi baru, lantaran konduite bias laki-laki, mini kemungkinannya penyuluh pertanian buat menempatkan wanita menjadi target.
Hasil penelitian menampakan bahwa penerapan teknologi pertanian terkini sudah meminggirkan bahkan menghilangkan akses & kontrol perempuan petani khususnya dalam aspek budidaya. Proyek-proyek pembangunan melibatkan perempuan, sebagai akibatnya pada introduksi teknologi pertanian petani perempuan memperoleh akses sebagaimana dalam petani laki-laki.
Lantas Bagaimana Mengatasi Ketimpangan Gender Dalam Bidang Pertanian?