Lihat ke Halaman Asli

cid

Penulis Amatir

Perbaikan Kompetensi Pengajar dalam Dunia Pendidikan Islam

Diperbarui: 8 Desember 2021   21:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas pengembangan kurikulum

Dunia pendidikan agama Islam adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan pokok yang harus ada pada tiap-tiap jenjang pendidikan baik itu SD, SMP atau SMA. Pendidikan agama Islam, menjadi pondasi yang sangat dibutuhkan oleh para peserta didik yang memeluk keyakinan sebagai muslim diera globalisasi seperti sekarang ini guna membatasi diri dari hal-hal yang kurang baik bahkan cenderung mencederai dunia akademisi.

Mengutip data dari KPAI, pada tahun 2019, angka anak berhadapan dengan hokum sebesar 1251 kasus. Dan untuk kasus kecanduan terhadap zat-zat adiktif pada anak sebanyak 344 kasus. Jumlah ini bukanlah sesuatu yang dapat dibanggakan tentunya. Sangat miris ketika membaca statistik  tersebut yang cukup terbilang besar untuk kalangan usia anak-anak. Angka ini sebenarnya juga sudah bisa menjadi peringatan bagi segenap pendidik untuk terus menanamkan pemahaman moril kepada para peserta didiknya.

Saat ini, tren mempelajari ilmu agama Islam memang sedang kembali berkembang. Menjamurnya majelis-majelis taklim di lingkungan rumah masing-masing juga seperti memiliki daya tariknya sendiri untuk menggaet anak-anak muda bergabung ke dalam majelis taklim tersebut.

Namun di sisi lain, yang jadi permasalahan di dewasa ini adalah juga banyak kurangnya minat para peserta didik untuk mengikuti pelajaran pendidikan agama Islam yang notabenenya merupakan wadah paling dekat untuk menanamkan pendidikan serta pemahaman moril dengan kulit keagamaan. Lalu, apa sebenarnya yang menjadi penyebab minimnya minta para peserta didik dan apa yang seharusnya dilakukan oleh para pendidik?

Menurut dari beberapa responden yang penulis tanyakan di lingkungan RT 004 RW 08 Rempoa, jika diambil rata-rata, penyebab minimnya minat para sereta didik terhadap pendidikan agama Islam adalah karena terlalu banyaknya metode hafalan yang dilakukan dan para peserta didik yang 'kurang masuk' dengan pola mengajar dari pendidik yang terlalu kolot. Dari sini sudah jelas tergambar, jika kompetensi seorang pendidik ilmu agama Islam tidak hanya dilihat dari seberapa menguasainya sang guru terhadap materi, tapi juga dilihat dari bagaimana cara pendidik tersebut dalam memberikan atau me-transfer bidang keilmuan yang dimaksud.

Seperti yang sama-sama kita ketahui, bahwa metode menghafal merupakan metode yang paling banyak dan sering digunakan oleh para pendidik karena inillah pola mendidik yang bisa dikatakan 'paling mudah' untuk dilakukan. Pendidikan agama Islam memang tidak terlepas dari menghafal. Mulai dari menghafal ayat-ayat Al-Qur'am ataupun Hadis sebagai rujukan hukum nomor 1 dan 2 dalam agama, juga menghafal perkataan-perkataan ulama yang dijadikan hujjah pula.

Tapi, jika kita melihat dari kacamata yang lain, metode menghafal yang digunakan malah membuat peserta didik menjauh dari pendidikan agama Islam itu sendiri. Maka di sini, penulis berpendapat jika metode menghafal diubah atau setidaknya, dibarengi dengan hal-hal yang menyenangkan. Bisa dimulai dari hal kecil seperti tidak terlalu banyak menggunakan metode menghafal saja, namun juga pada praktek dilakukan. Karena, secara alami, ketika seseorang sering melakukan sesuatu, maka ia akan otomatis selalu ingat. Langkah-langkahnya, menurut pemikiran penulis, bisa dimulai dari menjelaskan terlebih dahulu perihal suatu materi, entah itu akhlak atau yang lainnya sebagai pemahaman; kemudian berlanjut pada memberikan dasar dari perilaku atau praktek tersebut.

Jika diilustrasikan, akan menjadi:

"Baik, hari ini kita akan belajar tentang A. A adalah bla bla bla dan bla. Dasar dari A adalah bla bla bla. Sekarang, kita praktek dulu" Setelah itu, diingatkan kembali, "oke, tadi apa dasar melakukan ini?" Dari sini, pengingat menjadi penguat dari pemahaman pendidikan agama tidak hanya dari menghafal saja, tapi dari praktek yang dilakukan.

            Dari sini muncul lagi permasalahan baru, bagaimana jika ada satu materi yang tidak bisa dipraktekkan dan/atau diuji secara langsung? Maka, penulis memberikan masukan, hal ini bisa dibuatkan suatu permainan yang bisa melatih hal tersebut agar terus ingat dan berkembang. Misal kejujuran, buatkan suatu permainan yang dapat menguji kejujuran tersebut. Karena, setelah senangnya para peserta didik terhadap pola mengajar 'guru'nya, pemahaman lain akan mudah dimasukkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline