Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya, dari sabang sampai merauke memiliki budaya yang berbeda dengan ciri khas masing-masing. Yogyakarta termasuk di dalamnya, dan juga dikenal sebagai wilayah yang memiliki banyak budaya. Salah satunya budaya yang ada di Yogyakarta, yaitu Mubeng Beteng. Budaya Mubeng Beteng ini diadakan setiap 1 Suro, di mana sesuai dengan tanggal pada kalender Jawa.
Jika dilihat, budaya Mubeng Beteng ini sudah menjadi identitas budaya dari Yogyakarta.
Identitas budaya adalah identifikasi komunikasi bersama dari verbal maupun nonverbal yang bermakna bagi anggota kelompok yang memiliki rasa memiliki dan berbagi tradisi, warisan bahasa, dan norma serupa dari perilaku yang sesuai (Fong dalam Samovar, 2014).
Tradisi Mubeng Beteng masuk dalam identitas budaya karena, merupakan salah satu tradisi yang sudah ada, dan dilanjutkan secara turun temurun hingga saat ini.
Sultan Agung, atau Raja Mataram Islam yang pertama, merupakan orang yang memprakarsai tradisi Mubeng Beteng, serta penanggalannya juga diprakarsai olehnya (Jogja.tribunnews.com, 2019). Penanggalan satu Suro ini dipilih berdasarkan kalender Jawa, dan memiliki sejarah tersendiri.
Dalam penanggalan Hijriyah, satu Suro disebut dengan satu Muharam. Sultan Agung menamai bulan Suro karena memang penanggalan Hijriyah yang di awali dengan bulan Muharam, karena keduanya memiliki korelasi yang dekat. Kalender atau penanggalan Jawa ini merupakan perpaduan dari penanggalan Saka dan kalender Islam, yang kala itu terpecah.
Bulan Suro ini dianggap sacral bagi yang memegang kepercayaan Kejawen, karena dianggap sebagai bulan di mana datangnya Aji Saka ke Pulau Jawa. Namun, tidak sedikit juga yang menanggap bulan Suro ini sebagai bulan yang mistis atau angker. Kepercayaan ini juga diteruskan hingga saat ini, penanggalan Jawa juga masih digunakan dalam melakukan tradisi Jawa lainnya.
Terdapat delapan klasifikasi identitas (Samovar, 2014), yaitu identitas rasial, identitas etnis, identitas gender, identitas nasional, identitas regional, identitas organisasi, identitas pribadi, dan identitas cyber dan fantasi. Melihat dari klafikasi tersebut, bisa dikatakan bahwa tradisi Mubeng Beteng ini masuk dalam identitas etnis.
Identitas etnis adalah identitas yang berasal dari sejarah, warisan, tradisi, nilai, perilaku serupa, dan daerah asal (Samovar, 2014). Mubeng Beteng ini masuk dalam identitas etnis karena merupaka tradisi, dan di dalamnya juga terdapat nilai, serta dilakukan oleh masyarakat yang berasal dari daerah yang sama, yaitu Yogyakarta. Selain itu Mubeng Beteng ini tradisi yang memang sudah dilakukan sejak dulu, dan dilanjutkan sampai saat ini. Namun sayangnya, karena pandemi ini, tradisi Mubeng Beteng tidak bisa dilaksanakan, sehingga pada tahun ini ditiadakan.
Tradisi Mubeng Beteng bertujuan untuk mengamankan lingkungan Keraton. Kenapa harus diamankan? Karena pada awalnya Keraton belum terdapat benteng yang mengitari untuk mengamankannya. Tradisi Mubeng Beteng diawali dengan Macapat, yang berisikan doa-doa pada pukul sembilan malam. Selanjutnya pada pukul sebelas malam, mulai hening sejak, dan beberapa abdi dalem menyiapkan yang dibutuhkan untuk memulai prosesi Mubeng Beteng.
Lalu, prosesi Mubeng Beteng dimulai, yang berjalan dari Bansal Pancaniti, perjalanan ditempuh sekitar empat kilometer, dan akan berakhir di Alun-alun Utara. Selama upacara berlangsung, yang mengikuti tidak boleh berbicara, dan melakukan hal negatif, salah satunya seperti merokok. Selain untuk berdoa meminta perlindungan Keraton. Tradisi Mubeng Beteng juga dimaknai sebagai intropeksi diri, dan berdoa untuk diri sendiri, maupun sesama.