Lihat ke Halaman Asli

Didiagnosa, Bukan Divonis!

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Entah bagaimana awal mulanya, tapi coba kita amati, seringkali, saat seseorang didiagnosa menderita penyakit yang cukup gawat (dapat membahayakan jiwa), mereka selalu berkata, “Saya divonis… (penyakit tertentu)”. Lalu, coba lihat di sinetron-sinetron yang makin ke sini, semakin tidak mendidik. Artisnya selalu ‘bangga’ kalau setelah melakukan pemeriksaan ke dokter (dokternya juga bohong pastinya) mengatakan, “Hidupku…enggak lama lagi… Aku.. divonis kanker…”. Lalu adegan selanjutnya adalah kepala para pemain di-close up satu persatu (biar tidak ketahuan kalau pas syuting mereka tidak bareng), plus musik yang membangun suasana, lalu airmata berlelehan di mana-mana, sesunggukan, lalu pemeran utama mati. Selesai? Ya tidak, masak pemeran utama mati? Hidup lagi, tapi jadi orang lain (seperi Melati untuk Marvel, si Melati mati lalu ada orang yang mirip banget sama Melati, namanya Jasmine. Hah! Malas!)

Oke, kembali ke topik. Saat mendengar kata vonis, apa yang Anda pikirkan? Hukuman? Akibat? Atau apa? Apapun bisa terlintas di benak kita saat mendengar kata ‘vonis’, tapi semuanya mengarah pada 1 makna, AKHIR DARI SEGALANYA. Divonis, seolah-olah menunjukan sudah tidak ada harapan untuk menjadi lebih baik, kalau divonis sakit, ya seolah-olah tidak ada harapan untuk berumur lebih panjang. Vonis kanker, terkesan seseorang pasti akan ‘lewat’ kalau terkena kanker. Padahal kan belum tentu. Ada banyak survivor kanker tersebar di seluruh dunia. Mereka bahkan menunjukkan bahwa kanker tidak membuat mereka menyerah dengan keadaan.

Mantan Menteri Kesehatan kita, Ibu (Alm.) Endang Rahayu Sedyaningsih adalah salah satu tokoh yang menerapkan “Saya didiagnosa kanker” bukannya “Saya divonis kanker”. Itulah yang membuat beliau tetap berjuang melawan penyakitnya. Menurut teman-teman dan keluarganya, tidak sekalipun beliau mengeluh sakit, terlihat tidak berdaya, atau kehilangan semangat hidup.

Mungkin, menurut pendapat saya, dengan didiagnosa, (mudah-mudahan) dapat menurunkan level ‘kekejaman’ suatu penyakit. Dengan menggunakan kata ‘didiagnosa’, seseorang (mungkin) merasa penyakitnya sama seperti penyakit lain seperti DBD, Hepatitis, radang, sehingga seseorang (mudah-mudahan lagi) tidak merasa sedang menanggung beban berat, dalam hal ini, penyakitnya. Harapannya, daya juang seseorang dalam melawan penyakitnya bisa menjadi jauh lebih tinggi. Ini menjadi semacam ‘permainan kata’ yang dapat mempengaruhi psikologis seseorang.

Tidak mudah, memang. Apalagi satu Indonesia Raya sudah terbiasa menggunakan ‘vonis’ untuk menyebut penyakit berat. Tapi, sudah ada yang memulai, semoga dapat dibiasakan. Eh, saya enggak mendoakan banyak orang jadi sakit ya… Sungguh…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline