Lihat ke Halaman Asli

Sri Budiarti

Sesekali saya suka menulis meski dengan kemampuan yang terbatas.

Tak Sanggup Memutar Waktu

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_241224" align="alignleft" width="300" caption="http://www.google.co.id/imgres?imgurl"][/caption]

Baju terusan kuning kunyit dengan corak bunga sakura berwarna ungu kecil-kecil membalut tubuh semampai Dinda, tampak serasi dengan warna kulit Dinda yang juga kuning pucat. Nampak anggun ia mengenakan rok sedikit di atas lutut itu.

“Kita jadi masuk?” Tanya Edo teman lelakinya sambil menatap serius wajah Dinda di sampingnya.

“Entahlah, aku tak yakin.”

“Kita sudah sejauh ini. Terserah kamulah.”

Beberapa pemuda yang berada di pintu masuk losmen itu, memandang mereka berdua. Pandangan heran karena jarang sekali ada perempuan yang begitu polos dan lugu seperti Dinda ada di komplek ini. Sebagian besar, bahkan semua perempuan di kompleks pelacuran ini atau yang ada di kawasan ini berwajah menor dengan dandanan yang norak.

“Ayolah, Say…aku sudah letih seharian ini. Kita muter-muter terus.”

“Aku mungkin tak sanggup, Do!”

“Kau malu berada di sini?” gadis itu menggeleng. Aku…aku ingin pulang saja.”

“Tidak!” suara Edo meninggi, beberapa orang memandang lagi kearah mereka.

“Please, Edo..jangan membuatku melakukan sesuatu yang akan kausesali.”

“Kau takut aku menyebutmu wanita murahan juga?”

Dinda mulai tak dapat menahan perasaannya, ia menggeleng berkali-kali sambil menahan tangisnya tumpah. Di sudut matanya telah keluar air mata. Bibirnya rapat menahan isak.

Segera ia berlari masuk Wisma Sekar Arum, menghentikan isak tangis yang siap meledak. Menahan gundah hatinya yang meletup-letup. Edo berlari kecil menyusulnya. Kamar 202, pintu tertutup rapat, mereka berpandangan sejenak, lantas Dinda mengetuk pintu perlahan.

“Ya, siapa?” terdengar suara berat lelaki di dalam, tak lama pintupun dibuka.

Dinda tak gentar lagi, iapun tak menangis lagi. Hanya sorot matanya tajam menghujam, tertuju pada wanita yang tak lama kemudian menampakkan diri di balik pintu kamar.

“Mama…. ini kunci rumah! Dan…ini kunci mobil Dinda. Trimakasih telah merawatku selama ini. Tapi maaf, ma. Aku bukanlah anak, yang ingin kau hidupi dengan uang lacurmu!” setelah melemparkan beberapa anak kunci Dinda berlari kencang tanpa menoleh lagi. Edo menyeringai. Seringai Edo pada kedua orang di hadapannya itu, seringai kemenangan…karena beberapa bulan lalu, dialah yang meniduri wanita paruh baya di hadapannya yang masih tampak manis dan sintal itu.

Susanti menjerit histeris, karena perkenalannya dengan Edolah yang membuat putri satu-satunya Dinda masuk perangkap lelaki buaya bernama Edo Herlambang yang kini pergi bersama anaknya, entah kemana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline