Pada saat kita sakit, kita pasti pernah setidaknya sekali melakukan pencarian di internet mengenai gejala-gejala yang kita alami. Sering kali akan muncul berbagai laman mengatakan bahwa kita memiliki kemungkinan terkena penyakit a, b, c, d dan seterusnya. Saat membaca informasi dari laman-laman tersebut, kita akan mulai merasakan bahwa informasi tersebut ternyata sesuai dengan yang diri kita sendiri rasakan. Kemudian, kita juga akan mulai merasa gelisah akan hal tersebut. Tanpa kita sadari, kita telah melakukan tindakan self-diagnonis pada diri sendiri .
Apa sih self-diagnosis itu? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diagnosis merupakan penentuan jenis penyakit dengan cara meneliti (memeriksa) gejala-gejalanya. Meneliti atau memeriksa dalam konteks ini perlu dilakukan dengan bantuan ahli profesional. Mendiagnosis diri sendiri adalah memutuskan kita memiliki penyakit berdasarkan pengetahuan yang dimiliki atau setelah membaca informasi yang berkaitan dengan keluhan tersebut (Akbar, 2019). Self-diagnose ini sendiri dapat dilakukan pada gangguan kesehatan fisik dan mental yang dirasakan oleh seseorang (Maskanah, 2022).
Pada dasarnya, rasa ingin tahu yang dimiliki oleh manusia itu sangatlah tinggi. Saat ini, berbagai informasi sudah sangat mudah kita dapatkan, terutama dengan adanya internet yang berkembang pesat diikuti juga dengan kemudahan pada aksesnya. Dengan adanya kemudahan ini, berbagai informasi pun akan mudah untuk disebarkan. Kita juga perlu memahami bahwa tidak semua informasi yang tersebar di internet dapat terjamin dengan benar begitu pula sebaliknya.
Satu hal yang perlu kita pahami adalah tidak sembarang orang dapat melakukan atau membuat diagnosis. Bahkan, kita juga tidak dapat melakukan diagnosis pada diri sendiri, karena selain kita bukanlah ahli dalam bidang tertentu, kita juga akan cenderung melakukan penilaian yang bias.
Tindakan self-diagnosis ini memang tidak membahayakan diri kita secara langsung. Namun, tindakan ini akan tetap mempengaruhi diri kita, terutama mental kita. Hal ini dikarenakan sering kali ketika mendapatkan sebuah informasi, seseorang langsung menggeneralisasi yang ia ketahui dengan fakta sekitar. Tanpa informasi yang lebih spesifik dari dokter, pasien tak paham bagaimana menilai gejala mereka. Akibatnya, mereka justru menjadi semakin cemas, ngotot, bahkan obsesif pada diagnosis yang mereka putuskan sendiri (Akbar, 2019).
Dalam tingkat lebih lanjut, tindakan self-diagnosis ini akan berpengaruh pada pemikiran kita. Apabila diteruskan, hal ini akan berdampak pada kesehatan mental kita yang juga akan mempengaruhi tindakan serta perilaku kita. Salah satu dampak yang dapat kita alami apabila kita melakukan self-diagnosis secara berlebih adalah munculnya cyberchondria. Cyberchondria adalah perasaan cemas terkait dengan pencarian informasi online tentang kesehatan yang dilakukan berulang-ulang (Starcevic, 2017, dalam Simanjuntak & Princen, 2022).
Kita memang berhak untuk mengetahui mengenai apa-apa yang kita alami. Namun, langkah lebih baik dan tepat untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan berkonsultasi dengan ahlinya. Kita dapat melakukan konsultasi ini secara tatap muka langsung ataupun secara daring melalui berbagai platforms yang telah tersedia. Konsultasi ini pun tidak dapat hanya kita lakukan dalam satu kali waktu saja, melainkan harus juga kita lakukan secara bertahap. Dengan demikian, kita akan mendapatkan hasil diagnosis yang tepat dan dapat ditangani sesuai dengan prosedur yang sudah ada.
Daftar Pustaka
Akbar, M. F. (2019). Analisis Pasien Self-diagnosis Berdasarkan Internet Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. INA-Rxiv. June, 25.
diagnosis. 2016. Pada KBBI Daring. Diambil 20 Sep 2022, dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kamus
Maskanah, I. (2022). Fenomena Self-Diagnosis di Era Pandemi COVID-19 dan Dampaknya terhadap Kesehatan Mental. JoPS: Journal of Psychology Students, 1(1), 1-10.