Lihat ke Halaman Asli

Chyntia Pinky

Tidak ada

Apakah Janji Mantan Dapat Dimintai Pertanggungjawaban?

Diperbarui: 16 Mei 2019   18:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

liputan6.com

Pada dasarnya, suatu hubungan perjanjian harus didasari atas persetujuan kedua belah pihak. Dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dijelaskan bahwa semua perjanjian harus SAH, jika sudah dibuat secara SAH barulah perjanjian tersebut dapat mengikat terhadap para pihak yang terlibat. 

Syarat sahnya perjanjian ini dijelaskan dalam Pasal 1320-1337 KUHPer, yaitu: adanya kesepakatan dari para pihak yang melakukan perjanjian, cakap artinya sudah dewasa menurut hukum dan tidak berada di bawah pengampuan, adanya objek yang diperjanjikan dan objek yang diperjanjikan ini tidak boleh melanggar hukum.

Lalu permasalahan yang sering terjadi adalah, bagaimana kalau perjanjian yang ada tidak dilakukan di atas kertas alias hanya di bibir saja?

Endorsement selebriti, iklan developer, hingga ucapan-ucapan kekasih pun dapat dikategorikan suatu janji. Tetapi, apakah semua janji dapat dimintakan pertanggungjawabannya?

Sebagai penganut aliran klasik, arti 'mendapatkan kesepakatan para pihak' sebagai syarat SAHnya perjanjian tampaknya harus dibuktikan dengan adanya tanda tangan dari pihak-pihak tersebut. Sehingga segala bentuk perjanjian yang hanya diucapkan mulut dianggap sebagai perjanjian pra kontrak dan Indonesia TIDAK mengenal pertanggung jawaban pra kontrak. 

Kasus N.V Aniem Vs Wachidin dan kasus Taman Nagong menjadi salah satu contoh dimana pihak yang MERASA dirugikan tidak dimenangkan oleh Pengadilan karena tidak adanya 'hitam di atas putih' alias tertulis. Dampaknya, janji-janji tersebut tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban.

Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara Eropa seperti Belanda dan Jerman. Di negara penganut aliran modern ini, perjanjian pra kontrak sudah dapat dimintakan pertanggung jawaban. Seperti dalam kasus Arrest Hoge Raad, pada akhir 1974 Plas dijanjikan memenangkan tender oleh walikota Valburg sehingga ia mengeluarkan biaya-biaya yang diperlukan untuk tender tersebut. 

Namun dalam perundingan Dewan Kota, tender tersebut ternyata diberikan kepada pihak lain. Hal ini tentu merugikan Plas karena ia telah mengeluarkan sejumlah modal meskipun belum ada perjanjian nyata di atas kertas.

Gugatan Plas pada akhirnya dimenangkan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, namun ganti rugi yang dapat diterima Plas tidak lebih dari modal yang telah ia keluarkan.

Seperti contoh, orang yang berpacaran memiliki ikatan hubungan berdasarkan kepercayaan semata. Fase ini dapat pula dianalogikan sebagai fase pra kontrak alias belum terikat perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam UU No 1 tahun 1974. Dalam fase ini, segala bentuk ucapan tentang angan-angan masa depan bisa saja dikategorikan sebagai janji, namun janji yang tidak tercatat atau ditandatangani oleh kedua pihak a.k.a persetujuan hanya di mulut saja.

The past will always haunt you! Dalam banyak kasus, mantan kekasih yang sudah tidak lagi terikat hubungan pacaran biasanya suka menagih-nagih janji di masa lampau (seperti rentenir): kamu dulu janji mau nikahin aku, katamu aku yang terspesial (kaya martabak telur spesial), kita berjanji untuk saling mencintai selamanya.

Tetapi, janji-janji seperti itu berdasarkan logika teori klasik, memang tidak dapat dituntut dan ditagih kembali karena tidak ada perjanjian resmi yang memberikan hak dan kewajiban seperti dalam ikatan perkawinan. Pun jika menggunakan logika teori modern, pihak yang menagih janji harus membuktikan kerugian apa yang diderita olehnya.

Saya rugi dong jika tidak bersamanya, seharusnya kami menikah tahun depan, seharusnya kami punya anak kapan-kapan, seharusnya saya bisa menggunakan kartu kreditnya sampai kebablasan.

Layaknya sistem hukum Eropa Kontinental, dalam sistem hukum Angelo Saxon juga berlaku demikian, penggantian kerugian akibat perjanjian pra kontrak HANYA sebatas pada kerugian nyata alias benar-benar terjadi dan dapat dilihat oleh mata, bukannya kehilangan keuntungan yang diharapkan alias angan-angan semata alias lagi belum pernah terjadi.
-the Wisconsin Supreme Court.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline