"Jika seiman, barangkali mereka terkena ujian, kita doakan. Jika orang kafir, sudah pasti mereka terkena azab"
Desember, 22 malam agaknya menjadi perstiwa yang tidak diduga-duga datangnya. Bencana tsunami yang menewaskan hampir 500 orang terjadi begitu saja. Tanpa peringatan, tanpa praduga. Badan Meteorologi Klomatologi dan Geofisika (BMKG) pada tanggal 21 Desember memang menyatakan bahwa akan terjadi pasang air laut mulai dari tanggal 21 hingga 25 Desember dikarenakan adanya aktivitas gunung Anak Krakatau, namun nyatanya tsunami-lah yang terjadi.
Seketika postingan-postingan terbaru golongan fanatisme agama dan politik bermunculan pasca bencana. Isinya tidak jauh-jauh dari komentar mengenai korelasi antara bencana dengan azab Tuhan, bahkan ada saja yang mengaitkan bencana alam dengan dunia politik Indonesia. Menilai dengan tolok ukur kepercayaannya, bukan dengan logika apalagi nilai kemanusiaan. Sepertinya warga net Indonesia terlampau cerdas berlebihan.
Beberapa akun resmi bermunculan membahas, mengomentari, menghujat seolah-olah tsunami adalah azab dan korbannya adalah orang paling berdosa yang patut disalahkan. Beberapa lagi ikut-ikutan bertutur kata yang dapat menyakitkan hati para korban bencana. Jadi beginilah ternyata, ke-Bhineka Tunggal Ika-an Indonesia sudah mati dalam pandangan golongan-golongan fanatisme suatu agama. Kemanusiaan yang adil dan beradab hanya angan-angan dan toleransi telah dimakamkan di dalam liang yang di atasnya tertancap nisan 'Intoleransi'.
Kini, saudara kita entah dari agama apapun, ras dan suku manapun di dekat Selat Sunda sana, tengah menangis kehilangan anaknya, orang tua, kerabat, dan bahkan kehilangan dirinya sendiri yang pergi bersama orang-orang yang dicintainya. Lalu cacian mengenai azab dan dosa seolah membajiri tanpa ampun.
Golongan fanatisme telah anarki dalam kepercayaannya sendiri. Mari bertepuk tangan untuk kemanusiaan yang telah binasa.
Padahal kita tahu, sebebas-bebasnya hak beragama dan sebebas-bebasnya hak menyatakan pendapat tidak lantas membuat hak tersebut memiliki hak untuk melukai orang lain. Pasal 28J UUD sebagai konstitusi bangsa, The Law of The Land, perjanjian tertinggi, sudah membatasi bahwa tidak ada hak seseorang pun yang bisa mengenyampingkan hak orang lain. Tidak ada orang yang berhak menghujat orang lain, apalagi dalam konteks korban bencana alam.
Jika tidak bisa ikut membantu, setidaknya jadilah manusia yang beraadab seperti amanat Pancasila, nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang tidak akan terpecah-belah, entah oleh agama apapun, dengan tidak mengomentari apalagi menghasut.
Kita tidak pernah tahu, barangkali orang-orang yang meninggal, tengah diselamatkan dari anarkisme intoleransi Indonesia yang semakin menjadi. Kita tidak pernah tahu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H