Legal pluralism atau pluralisme hukum adalah adanya dua atau lebih sistem hukum yang berjalan secara berdampingan. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pluralisme hukum, di antaranya adalah karena adanya bermacam-macam suku, budaya, agama, ras, dan lain sebagainya. Sedangkan progressive law diartikan sebagai hukum yang muncul di masyarakat yang dilatarbelakangi oleh keprihatinan akan buruknya hukum dan publik yang merasa tidak puas dengan kinerja hukum yang ada.
Hingga saat ini, pluralisme hukum masih berkembang di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh bermacam-macamnya latar belakang masyarakat Indonesia. Setiap suku pasti memiliki hukum adat atau kebiasaan yang masih berjalan dan dilaksanakan hingga saat ini. Namun disisi lain mereka (masyarakat adat) harus menerima pula hukum lain yang berlaku di Indonesia. Oleh sebab itu Indonesia memiliki hukum yang plural.
Dalam pelaksanaannya, hukum yang dipandang tinggi dan dilaksanakan dengan penuh oleh masyarakat Indonesia adalah hukum negara. Adanya sentralisme hukum yang memusatkan hukum kepada hukum negara ini memaksa pluralisme hukum di Indonesia tidak bisa berkembang dan dijalankan sesuai keinginan masyarakat yang menganutnya. Maka, realita dari pluralisme hukum di Indonesia sendiri adalah tidak bisa berjalan dengan sempurna karena adanya tekanan dari hukum negara. Sedangkan pada progressive law, perkembangannya di Indonesia dimulai saat masa reformasi tahun 1997 karena keprihatinan masyarakat terhadap hukum yang ada. Oleh karena itu muncul pemikiran bahwa hukum itu dibentuk untuk manusia sehingga muncul hukum yang baru yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat kala itu. Progressive law juga menjadikan hakim memiliki pilihan dalam memutuskan suatu perkara sehingga hakim tidak harus patuh kepada undang-undang yang berlaku. Namun jika progressive law terus berkembang pesat, maka dipastikan bahwa Indonesia tidak memiliki kepastian dalam hukum.
Pluralisme hukum dalam masyarakat di Indonesia sangat diakui karena adanya trilogi yang menyatakan bahwa adanya hukum alam, hukum positif, dan hukum sosial yang diterapkan ke dalam beberapa produk hukum di Indonesia. Contohnya adalah independensi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, otonomi daerah DIY dengan sistem monarki yang masih diakui bahkan dengan adanya PERDA yang mengatur.
Progressive law berkembang di Indonesia dimulai ketika masa reformasi pada tahun 1997 dengan adanya keprihatinan terhadap krisis hukum yang melanda. Dengan adanya progressive law yang terus berkembang pesat, maka bisa saja Indonesia tidak memiliki kepastian hukum. Bahkan bisa saja bahwa terjadi kecurangan dalam melaksanakan progressive law seperti adanya penetapan hukuman yang tidak sesuai kepada pelaku kejahatan karena hakim dibolehkan untuk tidak berada dalam garis (undang-undang yang berlaku). Di sisi lain, progressive law dapat menjadikan hakim mengambil keputusan yang tepat seperti menetapkan hukuman tidak sesuai dengan undang-undang karena dinilai hukuman tersebut tidak sesuai dengan perbuatan yang dilakukan atau dengan pertimbangan tertentu yang menyebabkan hukuman yang diatur undang-undang tersebut tidak pas jika dijatuhkan untuk pelaku tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H