Kawasan Baduy Dalam telah resmi menjadi area blank spot atau titik tanpa sinyal internet sejak pertengahan September 2023 seperti yang diberitakan Detik.com (7/10). Pemutusan sinyal internet dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagaimana permintaan masyarakat Baduy Dalam sendiri yang keberatan dengan masuknya sinyal internet. Keberatan tersebut mereka sampaikan melalui surat kepada Pemerintah Kabupaten Lebak pada Juni lalu yang kemudian diteruskan ke pemerintah pusat. Permintaan tersebut merupakan upaya masyarakat adat Baduy untuk melindungi tradisi serta generasi penerus dari kerusakan moral yang salah satunya diakibatkan oleh internet.
Masyarakat Adat Baduy atau juga familiar disebut suku Baduy, tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak, Banten. Secara keseluruhan mereka memiliki populasi sekitar 5000-8000 orang. Mereka terbagi menjadi dua yakni Suku Baduy Dalam dan Baduy Luar dengan aturan yang masing-masing berbeda. Mereka yang tinggal di Kawasan Baduy Dalam lebih ketat terhadap aturan adat termasuk pelarangan terhadap instrument modernisme termasuk barang elektronik, dan sinyal internet. Sementara mereka yang tinggal di Kawasan Baduy Luar lebih terbuka terhadap instrument modernisme sehingga penggunaan perangkat elektronik seperti gawai, motor, listrik dan penggunaan pakaian umum diperbolehkan.
Pelarangan instrument modernisme seperti gawai, motor, dan listrik tidak hanya dijumpai di Kawasan Adat Baduy Dalam. Jauh di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan, Masyarakat Adat Ammatoa Kajang juga memiliki aturan serupa, membagi kawasan mereka menjadi dua yakni Kawasan Dalam dan Luar dengan aturan yang sama; Kawasan Dalam lebih ketat terhadap instrument modernisme sementara Kawasan Luar lebih terbuka. Meski terdapat pembagian Dalam dan Luar, hal tersebut tidak bisa dilihat secara hitam putih bahwa salah satu lebih baik diantara yang lainnya tetapi pembagian tersebut pada dasarnya ditujukan untuk memberi mereka pilihan sekaligus tetap mempertahankan prinsip adat mereka khususnya menjaga hutan adat. Dengan kata lain, pembagian kawasan menjadi Dalam dan Luar dengan aturan masing-masing merupakan bentuk negoisasi terhadap dunia modern.
Sayangnya, prinsip masyarakat adat yang memilih untuk hidup 'menyatu' dengan alam termasuk menolak atau meminimalisir hal-hal yang beresiko merusak alam seperti listrik, alat elektronik, sinyal internet dan berbagai instrument modern lainnya sering distigma negatif. Mereka dianggap sebagai masyarakat yang terbelakang, miskin, suku terasing, terpinggirkan dan berbagai stigma lainnya. Lebih dari itu, mereka dituduh sebagai pelaku bid'ah, sesat, primitif dan berbagai tuduhan peyoratif yang mendiskreditkan mereka. Hal ini jamak dijumpai di berbagai kelompok masyarakat adat di Nusantara dan sudah terjadi dalam kurun waktu yang lama (Sangaji, 2007; Chusnul, 2021).
Bentuk diskriminasi terhadap masyarakat adat salah satunya juga merupakan dampak dari gagalnya pembangunan di zaman Orde Baru. Program-program kebijakan pemerintah saat itu banyak menggunakan istilah peyoratif seperti program suku terasing dan program masyarakat terbelakang (Sangaji, 2007; David dan Hanley, 2007). Selain istilah yang yang digunakan, pada praktiknya, program pembangunan di Masa Orde Baru juga sekadar menjadikan mereka sebagai objek pembangunan dengan menyamaratakan kebutuhan mereka. Padahal jika merujuk pada Konvensi Ilo No. 169 tahun 1989 Pasal 3, dinyatakan bahwa masyarakat adat berhak menikmati hak mereka sebagai manusia dan kebebasan yang bersifat mendasar tanpa halangan atau diskriminasi.
Keberatan Masyarakat Adat Baduy Dalam yang menyatakan keberatannya terhadap masuknya sinyal internet menjadi bukti jika upaya pembangunan masih disamaratakan. Padahal, sebagaimana yang terjadi di Masa Orde Baru, upaya pembangunan tidak bisa disama ratakan. Jaringan internet yang kencang menjadi kebutuhan primer di daerah lainnya, tapi bukan berarti semua orang memiliki anggapan serupa. Menjadi salah satu bagian dari negara yang majemuk seperti Indonesia yang memiliki beragam agama, kepercayaan, suku dan bahasa, tentu bukan hal yang mudah. Namun kita bisa berupaya untuk terus saling memahami satu sama lain demi terciptanya masyarakat yang inklusive.
Memahami Paradigma Umum dan Paradigma Tradisional
Kesalahpahaman yang paling mendasar yang sering terjadi yakni disebabkan oleh perbdaan paradigma berfikir. Masyarakat Adat Baduy baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar sebagaimana umumnya masyarakat adat nusantara lainnya menggunakan paradigma berfikir tradisional 'traditional paradigm'. Paradigma tersebut berasal dari konsep pengetahuan yang umumnya berupa tradisi oral dan menekankan pada pelestarian lingkungan atau bisa disebut juga dengan istilah Indigenous Ecological Knowledge (IEK). Menurut Berkes (2015), IEK mencakup sistem klasifikasi, seperangkat pengamatan empiris tentang lingkungan setempat, dan sistem pengelolaan diri yang mengatur penggunaan sumber daya. Hal tersebut kemudian menjadi strategi adaptif masyarakat adat. Dengan akarnya Di masa lalu, IEK bersifat kumulatif dan dinamis, yang dibangun berdasarkan ekosistem pengalaman generasi sebelumnya dan beradaptasi dengan teknologi dan sosial ekonomi saat ini (McCarter, 2014).
Mereka yang disebut sebagai masyarakat adat dalam hal ini yakni mereka yang memiliki hutan adat, tinggal di dalamnya, menjadi bagian dan menyatu. Mereka menempatkan alam khususnya hutan adat pada posisi yang mulia hingga pada tataran suci 'the secret' dan bahkan menjadikannya sebagai axis mundi. Mereka menghormati alam dan segala isinya seperti pohon, gunung, matahari dan seluruh ciptaan lainnya seperti binatang sebagai sebuah subjek, bukan objek yang bisa dieksploitasi. Praktik relasi intersubjektive pada praktiknya bisa dilihat dari adanya sesaji yang ditempatkan di lokasi tertentu yang dianggap sakral sebagai bentuk penghormatan dan terimakasih karena alam telah memenuhi kebutuhan manusia.