Lihat ke Halaman Asli

Chusnul C

Peneliti dan penulis lepas

Memahami Konsep Estetika Relijius Walter Benjamin: Antara yang Material dan Non-Material

Diperbarui: 15 Januari 2025   20:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sampul Buku S. Brent Plate "Walter Benjamin, Religion, and Aesthetics" (sumber: https://books.google.st/)

Resensi Buku: S. Brent Plate, 2005. Walter Benjamin, Religion, and Aesthetics: Rethinking Religion Through the Arts. Routledge.

Istilah estetika umumnya dipahami sebagai sebuah keindahan, cita rasa yang melekat pada kaum elit-borjuis, para kolektor seni, dan masyarakat kelas menengah atas. Namun Walter Benjamin, salah seorang anggota Mahzab Frankfrut memberikan alternatif lain untuk memahami estetika. Ia merunut secara etimologis dari asal kata estetika yang berasal dari bahasa Yunani kuno 'aisthitikos' yang artinya persepsi indra. Organ indra kita menerima rangsangan dari luar dan menimbulkan ragam sensasi yang kemudian diinterpretasikan dan diberi makna. Proses mengolah makna erat kaitannya dengan persepsi. Estetika, dengan kata lain dipahami sebagai dialektika antara yang material, yang terakses oleh indra, dan yang non-material yakni persepsi, untuk kemudian menciptakan pengalaman estetis.

Nalar dialektika yang ditawarkan Benjamin terpengaruh oleh pemikiran Marxis (Materialisme-Dialektika-Historis (MDH)), dan mistisisme Yahudi yakni Kabalah serta aliran romantisme Jerman. Benjamin bahkan dijuluki sebagai Marxis Rabi. Namun jika Marx menggunakan pisau analisis superstruktur ekonomi, Benjamin menggantinya dengan superstruktur seni. Nalar MDH tidak saja nampak pada pemahamannya terkait estetika yang Ia bahas lebih detail dalam bab 1 'Aesthetics (I): From the Body to the Mind and Back', dan bab 2 'Allegorical Aesthetics' namun juga nampak dari bagaimana Ia memposisikan pengalaman estetika yang dipolitisasi sebagai sebuah kritik seni. Politisasi seni akan dibahas detail di bab 3 'Working Art: The Aesthetics of Technological Reproduction dan di bab 4 'Aesthetics (II): Building the Communal Sense'. 

Buku ini menarik karena mengulas pemikiran Walter Benjamin yang menawarkan alternatif lain dalam memahami estetika dan disampaikan secara runut dan detail. Pada bab 3, Benjamin berargumentas bahwa zaman reproduksi mekanik, yakni awal mula munculnya fotografi, menjadikan karya seni kehilangan aura. Argumentasi Benjamin, saya rasa bisa dijadikan bahan reflektif untuk melihat karya seni hari ini, ketika seluruh karya seni bisa diperbanyak hanya dalam sekali klik.

Estetika sebagai Instrumen Memahami Agama

S. Brent Plate (sumber: www.religiousstudiesproject.com)

Pada bab pertama, S. Brent Plate memperkenalkan pemikiran Benjamin terkait agama dan estetika dengan menelaah secara detail terkait definisi estetika itu sendiri. Tentu ada banyak definisi terkait estetika yang pernah ada, karenanya Plate memilahnya agar bisa disesuaikan dengan kajian studi agama dan mempermudah pembaca memahami pemikiran Benjamin. Salah satunya yakni definisi estetika menurut Alexander Gottlieb Baumgarten. Ia memulai definisi estetika secara etimologis dari akar kata aisthesis yang berarti persepsi sensorik. Istilh estetika kemudian menjadi ilmu baru yang berhubungan dengan pengetahuan dan melengkapi bidang logika. Jika logika berkaitan dengan hal-hal yang diketahui dan, estetika berkaitan dengan hal-hal yang dirasa. Disiplin estetika kemudian berkembang dan dipahami sebagai 'rasa' yang dipahami oleh pikiran bukan lidah yang oleh Baumgarten disebut sebagai estetika artifisial bukan estetika naturalis yang berorientasi pada sensual. 

Sejak kemunculan Baumgarten, disiplin estetika terus menjadi perdebatan banyak pihak. Dari kecenderungan berfikir dualistik zaman pencerahan garis batas yang tegas antara yang murni-tidak murni, subjek-objek, hingga zaman postmodern ketika semua batas didekonstruksi. Estetika bahkan kemudian dianggap sebagai filsafat seni, menggeser pemaknaan estetika menjadi tidak sekadar fokus pada kecantikan. Dan diantara riuhnya perdebatan estetika, Benjamin muncul. Ia bersikukuh mempertahankan pemahaman materialistis tentang estetika dengan menjaga hubungannya dengan persepsi sensual, sekaligus menampilkan hubungan interaktif antara seni dan kehidupan sehari-hari, yang mengarah pada "baru, estetika yang dinamis dan dialektis".

Selain pemahaman Benjamin terkait estetika yang dinamis dan dialektis, salah satu pemikirannya yang perlu digaris bawahi adalah upayanya melihat agama dari kacamata estetika. Bagaimana agama yang selalu dikaitkan dengan sesuatu yang transenden, misterius, spiritual bisa dipahami dalam relasinya dengan sesuatu yang material. Untuk memahami argumen Benjamin, penulis menarik pembaca untuk masuk melalui teori penciptaan. Menurut Benjamin, seniman kreatif tidak pernah mencipta dari ketiadaan dan sebuah ciptaan selalu lahir dalam latar belakang sejarah, dengan serangkaian materi, keadaan, ideologi, dan teknologi. Kedua, semua ciptaan memerlukan kehancuran, atau sebagaimana yang dikatakan Benjamin "'Konstruksi' mengandaikan 'Penghancuran'. Dua hal tersebut kemudian menjadi landasan filosofi-teologi-esteika bagi Benjamin. Pemikiran Benjamin terkait dialektika penciptaan dan penghancuran sendiri tidak terlepas dari pengaruh mistisisme Yahudi, Kabalah.

Estetika Alegori Walter Benjamin

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline