Lihat ke Halaman Asli

Kursi Menteri, Kebenaran dan Rakyat

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam sebuah dialog di sebuah Televisi Swasta Nasional yang membahas kursi kabinet SBY, ada sebuah statement menarik dari salah satu petinggi partai peserta koalisi dengan SBY, pada intinya Beliau menegaskan kalau kementrian yang strategis harus diisi dari kalangan partai. Statement ini didasarkan pada alasan dukungan parlemen akan sangat diperlukan dalam pengambilan kebijakan kementrian.

Ada beberapa kejanggalan dalam statement petinggi partai tersebut, pertama bukankah negara yang dikatakan demokratis ini pada pemerintahan 2009-2014 akan bersifat otoriter berbungkus demokratis. Lihatlah semua partai peserta pemilu, semuanya haus akan kekuasaan dan merapat kedalam lingkaran kekuasaan, PDIP-pun lelah menjadi oposisi. Bukankah kondisi ini sudah membantah statement petinggi partai tersebut ?

Kedua, ada penegasan tidak langsung kalau menteri dari kalangan partai lebih mempunyai kompetensi yang lebih tinggi/baik dibandingkan dari kalangan profesional.  Padahal menurut hemat saya, menteri adalah pembantu presiden dalam menjalankan pemerintahannya demi kepentingan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi akan bangsa dan negeri ini. Dengan demikian, semakin kecil konflik kepentingan dalam diri calon sang menteri maka akan semakin kecil juga potensi permasalahan yang akan timbul. Bandingkan jika menteri dari kalangan partai ?

Ketiga, diluar pembahasan politik yang lebih sering dipoilitisasi, ada pembelajaran menarik lain yang lebih menggelitik saya, yaitu mengenai kepentingan rakyat dan "kebenaran". Bagi saya, pernyataan petinggi partai tersebut mengandung pemaknaan bahwa "kebenaran" adalah relatif dan diperlukan kekuatan untuk melakukan pembenaran secara massal. Pembenaran inilah yang memperkuat legitimasi sebuah hipotesis "kebenaran" sesuatu. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan dikarenakan adanya pemahaman bahwa "kebenaran" adalah sesuatu yang dianggap mendapatkan dukungan mayoritas padahal dalam mayoritas itu ada tumpang tindih kepentingan yang mendistorsi kemurnian "kebenaran". Dengan kata lain, sesuatu yang minor bisa dikatakan salah hanya karena minimnya dukungan pemahaman manusiawi dalam relatifitas waktu.

Dalam bahasa normatif, kesejahteraan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan suatu "kebenaran" mutlak yang memang harus dipenuhi. Jika kesejahteraan berkeadilan itu dijadikan sebagai kebenaran mutlak, maka akan muncul hipotesis-hipotesis "kebenaran" lain dalam mencapainya. Masing-masing mempunyai pemahaman sendiri-sendiri  dalam membangun sebuah hipotesis kebenaran sesuatu.

Dalam konteks statement petinggi partai diawal tulisan ini, sepertinya 5 tahun kedepan negeri ini akan masih berkutat dalam perdebatan ngga penting mengenai cara mencapai kebenaran mutlak yang ingin dicapai di negeri ini. Rakyat sepertinya juga masih harus bersabar karena kesejahteraan sepertinya masih menjadi hal yang sulit diwujudkan oleh penguasa. Mereka masih sibuk mendistorsi "kebenaran" dengan kepentingan individualis yang dianggap sebagai "kebanaran".

Mungkin kalimat "biarlah kebenaran menemukan kebenarannya sendiri" bisa menenangkan kita ditengah harapan akan kehidupan yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline