Kalimat itu pernah saya tulis pada sebuah status facebook pada tanggal 26 Februari 2022. Banjir like dan komentar, namun sayangnya komentar yang muncul mengarah pada obrolan yang tidak substansional. Maklum karena kebanyakan mereka adalah teman-teman dekat saya, tentu obrolan lebih ngalor ngidul sambil bercandaan.
Bagi saya pribadi, 'Menjadi Biasa itu Luar Biasa' bagaikan sihir yang mampu membuat saya menjadi pribadi yang lebih baik. Membuat saya mampu menjalani hidup ini sebagaimana ngalir apa adanya. Membuat saya mampu menghargai kerja keras saya dan menghargai sekeliling saya.
Kata-kata itu membuat saya tidak hanya fokus pada satu titik atau tujuan saja, namun lebih cenderung menghargai dan menikmati proses itu sendiri. Ada variabel-variabel proses yang membuat hidup ini lebih berwarna. Tentu terlepas dari rumit tidaknya proses yang dilalui, ada hal-hal yang terjadi diluar kendali saya.
'Menjadi Biasa' itu saya definisikan sendiri sebagai manusia yang biasa saja, tidak begitu menonjol dan sangat standar. Mungkin bisa dikatakan ada tidaknya saya tidak begitu berarti bagi sekitar. Tidak menjadi pusat perhatian karena hal istimewa atau bahkan sebaliknya hal yang buruk sekalipun.
Pola pikir ini sebenarnya sudah saya renungkan jauh saat usia saya masih belasan tahun. Tepatnya saat saya mulai mengalami gejolak jiwa muda, tepatnya saat menginjak kelas 3 SMP. Saya yang dari SD hingga SMP selalu mendapatkan ranking 3 besar, mulai merasakan bahwa berada diposisi tersebut ternyata tidak menyenangkan.
Mungkin sebagian besar orang mendambakan berada di posisi tersebut. Tentu karena di posisi itu kita menjadi pusat perhatian orang-orang sekitar kita.
Tidak sebaliknya bagi saya yang mengalaminya. Karena mengejar prestasi tersebut membuat saya cenderung egois, pelit, setiap ujian saya selalu menutup kertas karena takut akan dicontek teman.
Tidak hanya itu, saat saya mendapatkan peringkat 2 atau 3 masih saja kecewa karena gagal menduduki peringkat 1. Padahal posisi 3 besar sudah sangat didambakan bagi sebagian besar teman sekelas kita. Hal ini membuat saya menjadi pribadi yang kurang bersyukur dengan apa yang saya terima.
Saya teringat, saat kelas 3 SD saya mendapatkan peringkat 2 dan saya langsung mengunci diri di kamar.
Kakak saya yang melihat saya langsung mencoba menghibur dengan membelikan kotak pensil warna biru lengkap dengan pensil, penghapus, rautan, dan penggaris yang senada dengan kotak pensil tersebut. Peristiwa itu masih saja membekas hingga usia 39 tahun ini.