Lihat ke Halaman Asli

Chuang Bali

Orang Biasa yang Bercita-cita Luar Biasa

Serial Monolog In Monolog Out 7: B3S

Diperbarui: 18 November 2022   08:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tentang baik buruk benar salah, siapakah di antara kita yang benar-benar yakin kita tahu dan tak mungkin keliru manakala harus memutuskan sesuatu sebagai baik, buruk, benar, salah?

Wawasan dan kesadaran bahwa kita sering mengelirukan sesuatu sebagai baik padahal nyatanya tidak baik, buruk padahal nyatanya tidak buruk, benar padahal nyatanya tidak benar, salah padahal itu ternyata bukan striker Liverpool yang jagoan bikin gol, dan kekeliruan inilah yang menyebabkan banyak sekali masalah serta derita kita, hanya baru-baru ini kusadari.

Kebolak-balikan ini bersumber dari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman serta kebodohan batin laten yang menyebabkan kita teropak-opak oleh hasutan sesat nafsu-nafsu. Dan bila kita membaca sejarah manusia dari sejak awal yang tercatat hingga dewasa ini, kita akan banyak menemukan contoh kebolak-balikan ini.

Satu contoh, mari kita lihat peristiwa yang terjadi di masa euforia eksplorasi dan kolonialisasi dunia baru oleh bangsa-bangsa Eropa.

Salah satu motivasi yang membakar semangat dan gelombang kolonialisasi itu adalah karena bangsa-bangsa Eropa pengelana itu merasa sedang mengemban suatu misi suci memberadabkan bangsa-bangsa dunia baru yang menurut mereka tidak beradab, barbar, liar, dan mungkin gila atau hanya bernilai setengah manusia. Mereka mengira sedang melalukan suatu kebajikan yang dibenarkan serta didukung pula oleh, konon, agamanya. Padahal dalam kenyataannya eksplorasi itu menjadi eksploitasi yang jauh dari kebajikan dan menimbulkan banyak sekali praktik-praktik kekejaman serta penderitaan bagi makhluk-makhluk lain.

Atau jika kasus penjajahan dunia baru itu terlalu jadoel dan mungkin kurang relevan dengan situasi umum kehidupan kiwari, bagaimana dengan peristiwa ketika kita merasa tahu apa yang terbaik bagi orang lain dan memaksakan kehendak kita terhadap mereka, misalnya: ini demi masa depanmu sendiri, jangan membangkang, ya..awasss!

Bagaimana dengan ortu yang merasa tahu apa yang baik dan buruk untuk anak-anaknya lalu memaksakan kehendak agar si anak menekuni bidang ini atau itu demi masa depan yang mereka bayangkan pasti akan membahagiakan si anak? Dari lubuk hati terdalamnya, ortu yang baik dan penyayang pasti mendasari tindakannya dengan niat yang baik dan kasih sayang, namun sebagai makhluk awam dengan selubung delusi yang tebal pandangannya akan menjadi sangat bersiko bias, dan pemaksaan pandangan yang seperti itu adalah bentuk kekejaman terselubung.

Aku menengok ke dalam diriku, merenungkan tingkah polah batinku dan menemukan betapa kecenderungan sok tahu tentang apa yang benar atau salah, yang baik atau buruk, itu juga dan masih ada di sini di dalam diriku. Kecenderungan sok tahu ini telah menyebabkan banyak sekali masalah, pertikaian, kemarahan, syak wasangka yang tak berdasar, pandangan atau kata-kata menghina atau merendahkan dan juga yang menyakitkan, serta kekeraskepalaan menyebalkan yang bertahan tak sudi dinasihati. 

Namun setelah berkali-kali terbukti tak bermanfaat dan malahan sangat merugikan sekali, kecenderungan sok tahu ini tetap saja masih kuanggap berharga sebagai mekanisme pertahanan diri pada waktu-waktu yang diperlukan agar EGO senang dan tetap eksis...

Begitu tebalnya cemaran yang membentuk batin bodoh ini, sekadar menyadari sesuatu tak bermanfaat masih belum cukup untuk benar-benar membuatku meninggalkannya. Aku harus memnbedahnya dengan laser pencerahan, mengiris sampai ke sumsumnya dan di sana lantas memotong akar-akarnya.

Itu kalau aku mau benar-benar SELESAI, kalau benar-benar ingin sungguhan MERDEKA.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline