Lihat ke Halaman Asli

Chuang Bali

Orang Biasa yang Bercita-cita Luar Biasa

Terlalu Banyak yang Ingin Didengarkan, Terlalu Sedikit yang Bersedia Mendengarkan

Diperbarui: 4 September 2022   15:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Terlalu Banyak yang Ingin Didengarkan, Terlalu Sedikit yang Bersedia Mendengarkan

Pernah mendapat penjelasan makna filosofis bin simbolis agak cocoklogi dari fakta mengapa kita memiliki dua telinga tetapi hanya satu mulut? Penjelasannya bisa dengan kata-kata dan susunan kalimat yang berbeda-beda serta bumbu-bumbu dari ajaran agama atau keyakinan spiritual yang ingin disampaikan, tetapi intinya menjelaskan bahwa hal tersebut bermakna kita harus lebih banyak mendengar (makanya punya 2 telinga) daripada berbicara (makanya mulut hanya satu).

Pernah bersua dengan seseorang yang, ketika kita sapa basa-basi, lantas membalas dengan bersemangat sampai tak terasa kata-katanya terus mengalir, meluber hingga menjadi curcol yang kadang bikin kita tak nyaman, dan kita kesulitan menyela omongannya sehingga terpaksa mati kutu terpaku di tempat bagai terkena jurus totok maut pendekar sakti sampai si curcol puas menuntaskan curcolannya?

Pernah seorang kawan FB yang berprofesi sebagai konsultan unek-unek bercerita bahwa, sejauh pengalaman dia sebagai orang yang sering ketumpahan curhatan, doi sampai pada satu kesimpulan: sebagian besar orang yang sedang menghadapi suatu masalah sebenarnya tidak menginginkan solusi. Mereka hanya ingin didengarkan saja, setelah emosi-emosinya reda maka mereka merasa masalahnya telah beres. Padahal dalam kenyataan masalah itu belum beres, dan curhatannya pun lebih banyak soal salah menyalahkan pihak lain atas kesialan atau kemalangan yang dia alami.

Tidak ada kesadaran di sana, tidak ada keikhlasan mengakui andil dia adalah bagian terbesar dari masalah dia. Curhatan yang unfaedah bagi peerkembangan dirinya. Si kawan sampai pada kesimpulan tersebut karena dahulu, ketika dia masih rajin menanggapi curhatan orang-orang itu dengan segudang solusi yang telah dia pikirkan, para curhater itu hanya tampak mendengarkan tetapi tak pernah mempraktikkan solusi-solusi yang telah disodorkan kepadanya.

Pernah terlintas di pikiran mengapa di Jepang ada satu profesi di mana seorang pria disewa jasanya oleh para wanita bukan untuk urusan anu anu anu, tapi untuk membiarkan si wanita bicara sepuas-puasnya sampai bibirnya hitam (pakai istilah yang biasa ada di novel-novel Lupus, ketika si pengarang ingin menggambarkan kegiatan bergosip Lulu dan kawan-kawannya yang bisa dari pagi sampai malam...., busyet dah, bibirnya sampai gosong!)

Pernah memperhatikan bagaimana dunia kita lebih menghargai orang-orang yang pandai bicara dari pada yang piawai mendengarkan? Julukan orator ulung, atau agitator yang berkharisma, lazim kita ketahui. Tetapi rasanya belum pernah ada julukan si kuping gajah, misalnya, untuk orang-orang yang sungguh sabar mendengar dengan penuh perhatian.....

(Eh, maaf, julukannya kurang tepat, ya, konotasinya bisa jelek? Baik, nanti kita pikirkan julukan yang lebih keren untuk para pendengar piawai).

Pernah?

Saya pernah.

Pernah mencoba menjadi pendengar yang tulus dan penuh perhatian ketika seseorang sedang bicara, berusaha sekuat tenaga menahan ego yang melonjak-lonjak ingin menyela, menujukkan kita lebih tahu, atau menghakimi dan mencela?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline