Jika kita berjumpa dengan seseorang yang menjalani gaya hidup melajang untuk menyendiri melatih diri dalam keheningan meditatif, apakah yang akan muncul dalam benak kita? Mungkin sebagian dari kita akan menganggap orang seperti itu sebagai orang aneh yang telah menyia-nyiakan nikmatnya hidup dalam masyarakat modern dengan segala macam pemanjaan diri.
Atau barangkali kita akan bertanya-tanya: tidakkah kehidupan menyepi seperti itu akan sangat membosankan dan membuat praktisinya terserang rasa kesepian?
Kita hidup di dunia yang terlalu mengagung-agungkan kehidupan cinta asmara sebagai salah satu tonggak "prestasi" seorang manusia, dan karenanya dianggap syarat kebahagiaan hidup. Di dunia seperti itu, mereka yang tak juga menemukan pasangan mengalami tekanan pribadi maupun sosial untuk harus mendapatkan pasangan, dan apabila akhirnya gagal akan dicibir sebagai "manusia tak laku" atau yang dalam bahasa gaul disebut jones (jomblo ngenes).
Seakan-akannya tanpa berpasangan maka seorang manusia menjadi pribadi yang tak utuh dalam masyarakat dan layak dianggap pecundang.
Padahal cara kita menjalani hidup akan berbeda antara satu orang dengan orang yang lainnya, dan perbedaan itu ditentukan oleh cara pandang kita atas kehidupan yang pada gilirannya membedakan apa tujuan yang ingin kita raih. Memang, secara umum semua orang akan menjawab dengan pasti bahwa tujuan kehidupan yang ingin diraih adalah kebahagiaan. Namun apa yang dimaksud dengan kebahagiaan, dan bagaimana cara meraihnya, setiap orang punya pandangan sendiri-sendiri.
Seorang jomblo tidak harus berarti ia jomblo yang ngenes, karena bisa jadi ia sengaja memilih gaya hidup menjomblo untuk tujuan, misalnya, memiliki waktu luang yang memadai untuk pelatihan spiritualnya. Dengan kata lain, ia memilih sebagai jomblo dengan kesadaran penuh dan untuk suatu tujuan yang sudah ditetapkannya sebagai tujuan ia lahir dan hidup di dunia ini.
Bahkan meskipun seseorang berstatus jomblo karena "terpaksa" akibat belum menemukan pasangan hidup yang menurutnya sepadan, seharusnya kita pun tidak menekannya dan menilai ia sebagai jones---jomblo ngenes--yang berkonotasi bahwa hidupnya pastilah tak bahagia. Tidak dapat dihakimi begitu, karena bahagia atau derita bergantung bagaimana kita memaknai hidup kita.
Pandangan ini, bahwa jika tak berhasil memiliki pasangan maka akan tak bahagia, kelihatannya disebabkan oleh ketakutan akan rasa kesepian. Hal itu dapat dimaklumi, sebab sebagai manusia kita adalah individu sekaligus makhluk sosial. Kita selalu memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan sesama kita, dengan lingkungan kita.
Namun dalam kenyataan tidak mesti para jomblo berarti manusia-manusia kesepian (dan karena itu layak disebut jones, jomblo ngenes), sementara mereka yang berpasangan pasti jauh dari rasa kesepian (dan karena itu: bahagia).
Itulah yang menjelaskan mengapa ada orang-orang dengan kehidupan "sempurna" tak kurang satu syarat pun yang dibutuhkan untuk dapat disebut bahagia menurut ukuran dunia materi, tetapi justru mengalami suatu kekosongan jiwa, suatu rasa kekurangan, rasa kesepian yang bahkan dalam beberapa kasus sangat akut sampai membuat si penderita memutuskan untuk mengakhiri sendiri kontrak hidupnya di dunia.
Dan sebaliknya, orang-orang dengan kehidupan yang dianggap tak lazim, orang-orang aneh yang menyepi di hutan-hutan atau pertapaan, yang jauh dari semua hiruk pikuk dunia modern, justru mengalami kehidupan utuh sepenuh-penuhnya, kehidupan yang melimpah akan kebahagiaan yang sedemikian kayanya sampai memancar keluar dari ekspresi dan tindak-tanduk keseharian mereka.