Lihat ke Halaman Asli

Chuang Bali

Orang Biasa yang Bercita-cita Luar Biasa

Mengenang Ibu

Diperbarui: 13 April 2022   22:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Mengenang Ibu

Setelah hampir 3 tahun “pindah alamat”, barangkali jasad ibuku kini telah tercerai-berai menyatu tanah dan yang tersisa tinggal serpihan-serpihan tulangnya saja. Tetapi dalam bentuknya yang substil, Ibuku tak pernah pergi. Ia akan selalu mendiami satu bagian dari bilik batinku, duduk di sana dan tersenyum manis seperti dalam salah satu foto dirinya yang paling kusuka.

Aku ingat, sejak dari kematiannya aku tak pernah menangisinya. Sedikit kesedihan memang ada, dan kadang-kadang kangen menyelinap diam-diam. Tetapi aku tak pernah menangis dan orang-orang mungkin merasa heran, karena bagi anggapan umum tangis itu memang “diharapkan” sebagai tanda kita sedang berduka, terutama atas kehilangan orang yang paling kita sayangi. Aku memaklumi keheranan itu sebab aku tahu aku tak menangisi Ibuku bukan karena aku tak menyayanginya. Ini semata-mata hanyalah soal kesiapan batin yang telah lama kubina untuk menghadapi saat-saat perpisahan dengannya, sehingga ketika waktunya tiba—itu pasti—aku benar-benar siap melepas kepergiannya dengan senyum alih-alih tangis.  

Dan kini setelah nyaris 3 tahun, bila kurenungi apa yang telah terjadi, aku semakin menyadari bahwa Ibuku telah menjadi bagian tak terpisahkan dari diriku, dari kehidupanku dan dari arus pemikiranku.

Aku mengenang sebagai bocah aku disuapi Ibuku sambil Ibu membacakan majalah Bobo untukku, dan aku tahu bahwa dari sanalah aku menyadari ketertarikanku pada buku dan isinya. Dan saat aku sudah mampu membaca dan menulis, beliau-lah yang mendorongku untuk menulis surat kepada 2 orang Bibiku (kakak perempuan Ibu) yang tinggal dan menjadi warga negara Tiongkok sebagai ekses dari masalah politik masa lampau. Kebetulan keduanya masih mengingat dan mampu memahami bahasa Indonesia dengan cukup baik, maka jadilah aku berbalas surat dengan mereka. Dari kegiatan ini aku berlatih menulis yang mana kelak kemampuan ini membuatku dikenal—di lingkungan komunitasku yang terbatas—sebagai seorang penulis.

Ibuku pernah bercerita beliau sesungguhnya bercita-cita menjadi seorang perawat. Namun sebagai anak bungsu dari 13 bersaudara dan perempuan pula, beliau mengalami kesulitan untuk meyakinkan nenekku yang konservatif untuk mengijinkannya melanjutkan pendidikan lebih tinggi dari yang lazimnya berlaku bagi anak perempuan masa itu. Meskipun begitu, Ibu berhasil juga mengeraskan tekadnya untuk menempuh pendidikan SMP meskipun nenek tampaknya cukup keberatan, dan untuk itu Ibuku harus tinggal bersama keluarga lain di kota sebagai semacam anak kos. Dari kisah ini aku menyadari satu hal lagi: Ibuku memiliki semangat tinggi untuk menempuh pendidikan dan beliau haus akan pengetahuan. Dan semangat itu juga diturunkannya padaku meskipun aku menerima dan memahaminya dalam bentuk yang agak berbeda: aku memiliki semangat tinggi untuk belajar, haus akan pengetahuan, dan sedari kecil memiliki sikap kritis yang kadang-kadang disalahpahami—oleh orang-orang dewasa—sebagai  pembangkangan. Namun aku pribadi tak menganggap menuntut ilmu haruslah berarti sekolah (secara formal) setinggi-tingginya dan gelar yang didapat adalah bukti bahwa yang menyandangnya memiliki otoritas atas bidang yang dipelajarinya.

Ibuku tak lupa mengajarkan aku etika pergaulan dan sopan santun. Beliau sering menegurku, “Kamu harus bersikap sopan dan hormat kepada orang lain, jika tidak nanti Mama malu karena orang akan bertanya-tanya kamu itu anak siapa”. Aku ingat bila aku ikut dalam suatu acara keluarga dan bertemu dengan para paman+bibi dan saudara sepupu, Ibuku biasa menyuruhku untuk menyapa mereka dengan berkata, “Ajak ngomong dong tuaku/tuakim/koko/cece-nya”. Dulu aku merasa heran dan kadang kesal juga disuruh begitu karena kadang aku tak tahu harus berkata atau menyapa apa kepada mereka. Tapi membandingkan dengan generasi para keponakanku kini, aku tahu Ibu bermaksud mengajarkan 1 tata susila yang paling dasar dalam pergaulan: yang muda seyogyanya menyapa duluan yang lebih tua sebagai bentuk rasa hormat. Memanglah sekarang banyak nilai yang telah bergeser. Sudah jarang ditemukan orangtua yang masih mengajarkan anaknya untuk menyapa duluan kerabat lebih tua mereka saat mereka berjumpa dalam suatu pertemuan atau kejadian.    

Tapi kenangan akan Ibu tak melulu tentang ajarannya yang serius dan penting, karena hingga kini aku selalu ingat satu ajaran Ibuku yang barangkali tampak remeh namun sangat berguna ini: setiap kali aku ingin makan es krim bertangkai atau kue berbunngkus atau semua jenis makanan apa pun yang berbungkus, beliau mengajarkan padaku apa yang kusebut sebagai “jurus pisang”. Artinya, ketika aku membuka bungkus es krim bertangkai, aku diminta membukanya seperti mengupas pisang: bungkus tidak dibuang, melainkan dibuka dari atas dan lantas dipegang bersamaan dengan tangkai es krim. Tujuannya adalah menjadikan bungkus es krim itu pelindung tangan dari lelehan es krim sehingga tangan tetap bersih, lalu ketika dibuang ke tong sampah tangkai dan bungkus tetap menyatu sehingga akan terlihat rapi. Ini ajaran yang bagus sekali yang tak pernah kulupakan dan secara otomatis terpraktikkan begitu aku menemukan makanan apa pun yang berbungkus. Anak-anak yang tak diajarkan atau tak mengetahui “jurus pisang” biasanya akan memakan es krim bertangkai dengan membuang bungkusnya setelah dibuka, memegang tangkainya dengan tangan mereka yang tak terlindung, lalu es krim itu pun meleleh dan melengketi tangan mereka.

Ibuku wanita yang sederhana, mengenangnya berarti mengenang kesederhanaan dan cinta yang tak bertepi. Dalam beberapa hal beliau keras memegang nilai-nilai lama yang kadang tak lagi sesuai dengan keadaan kini, tetapi dalam hal lainnya beliau mampu menerima pembaruan. Sebagai manusia biasa Ibuku tak lepas dari kelemahan, tetapi sebagai seorang Ibu ia telah berusaha melakukan yang terbaik untukku. Aku tak bisa menampik jadinya aku kini besar andilnya dalam prosesnya, dan untuk itulah aku selalu mendoakan semoga Ibuku bahagia di mana pun kini beliau berada.

270414




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline