Lihat ke Halaman Asli

Chaerul Sabara

TERVERIFIKASI

Pegawai Negeri Sipil

Jangan Mimpi Kesejahteraan dari Pemilu dengan Politik Biaya Tinggi

Diperbarui: 1 Januari 2024   04:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mural menyambut pemilihan umum 2024 digambar di tembok pembatas di kawasan Margonda, Depok, Jawa Barat, Sabtu (17/6/2023). Foto: KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Perhelatan pemilihan umum (Pemilu) sebentar lagi akan berlangsung, seyogyanya Pemilu bukan hanya sekedar pesta demokrasi yang menghabiskan begitu banyak anggaran. Tentunya harapan semua elemen bangsa, bahwa Pemilu, baik itu untuk tingkat pusat maupun daerah adalah merupakan jalan masuk menuju kesejahteraan rakyat, kekuatan dan kemandirian bangsa dan negara.

Kita telah melalui begitu banyak Pemilu, tetapi harapan-harapan yang ingin kita capai melalui pelaksanaan pemilihan umum sepertinya masih jauh dari apa yang kita harapkan. Jujur harus kita akui, bahwa wakil-wakil rakyat yang terpilih, baik yang di pusat maupun yang di daerah, yang seharusnya berjuang atas nama rakyat tetapi mereka justru terjebak dalam kepentingan politik partainya, koalisinya dan bahkan ada yang demi kepentingan pribadinya.

Salah satu yang mungkin menjadi problema dalam perpolitikan kita sehingga keberpihakan para wakil rakyat kepada kepentingan rakyat menjadi terdegradasi adalah politik biaya tinggi, dimana termasuk didalamnya adalah money politik, mulai dari bagi-bagi "bantuan", penggantian biaya transportasi, hingga serangan fajar.

Tidak bisa kita pungkiri, keterlibatan "uang" dalam kontestasi politik kita begitu kental, politik transaksional seperti telah menjadi kelaziman. Meski kita sadari bahwa money politic itu adalah racun demokrasi dan itu menjadi hal yang sangat terlarang, akan tetapi hal ini meski nyata ada namun tidak pernah bisa dihentikan.

Ketika proses politik itu membutuhkan biaya tinggi, sudah barang tentu disitu ada hitung-hitungan untung rugi. Dalam sistem pemilihan dengan suara terbanyak masalah kualitas dan kapasitas Caleg tidak lagi menentukan, dan dalam kenyataan yang kita hadapi di masyarakat perolehan suara itu bisa ditransaksikan, artinya ada uang, ada suara.

Kita tentu berharap, semoga di Pemilu 2024 ini politik transaksional ini sudah tidak terjadi lagi, meski hati kecil kita pesimis bahwa itu dapat terwujud. Dengan Pemilu yang bersih, jujur dan adil, kita bisa berharap banyak, bahwa tidak akan ada lagi anggota dewan atau pemimpin terpilih yang terjerat kasus korupsi, tidak ada lagi kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat dll.

Namun, harapan sepertinya akan tinggal harapan. Dari pengalaman saya sebagai ketua RT di tempat saya tinggal, para Caleg dan tim suksesnya sudah bertebaran mencari peluang untuk mendapatkan suara di masyarakat dan cara yang paling mudah untuk menggaet suara yang signifikan tentu ada "janji" yang ditawarkan, tetapi masyarakat sekarang juga sudah "pintar" Kalau hanya sekedar janji yang hanya menjadi pemanis bibir, mereka tak mau tertipu dengan janji tetapi harus dengan wujud nyata, apa wujud nyata transaksi suara itu tentu sudah bisa kita terjemahkan sendiri.

Pengalaman di tempat saya, sudah menjadi rahasia umum, berapa "harga" satu suara untuk anggota DPRD kota, propinsi, pusat dan DPD. Untuk DPRD kota dengan jumlah 7-8 kursi per dapil dengan bilangan pembagi pemilih (BPP) 4000an "harga" 1 suara pada Pemilu 2019 adalah kisaran Rp150.000-300.000. Pemilu kali ini bahkan ada yang berani menawarkan hingga Rp500.000.

Ilustrasi: (kabarpali.com) 

Untuk Caleg DPRD Propinsi tawaran ada di kisaran Rp50.000-100.000, sementara untuk DPR pusat ada di kisaran Rp25.000, sementara untuk anggota DPD walaupun juga ada serangan tetapi tidak signifikan terjadi, hanya sekedar pengganti transportasi bagi masyarakat yang hadir saat sang calon melakukan sosialisasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline