Terus terang saja pertanyaan berdasarkan apa saya memilih partai dalam Pemilu membuat saya bingung. Namun, yang jelas karena rekam jejak beberapa partai, saya tidak akan memilihnya sekalipun misalnya saudara atau sahabat saya menjadi calegnya.
Sejauh yang saya rasakan sampai sekarang ini, setelah melalui beberapa kali Pemilu mulai dari jaman orde baru hingga orde reformasi sekarang ini, sistem demokrasi yang ada belum membawa kita kepada Pemilu yang ideal.
Meski aturan Pemilu terus berusaha disempurnakan, tetapi sepertinya kondisi ideal untuk kepentingan bangsa dan negara masih dikalahkan oleh kepentingan politik partai-partai yang ada. Banyaknya partai politik yang menjadi kontestan dalam Pemilu semakin menambah "carut marutnya" dunia politik negeri ini.
Pelajaran politik yang dapat saya ambil dari pengalaman melalui beberapa kali Pemilu sejak Pemilu 1977, bukannya membawa saya kepada pilihan yang pasti, namun justru membuat saya menjadi bingung sendiri dengan dunia politik kita ini.
Pengalaman pertama mengenal Pemilu di tahun 1977, saat itu belum sebagai pemilih. Waktu itu kebetulan bapak saya menjadi camat di sebuah kabupaten di daerah saya, gaung Pemilu saat itu begitu semarak.
Lagu "pemilihan umum telah memanggil kita, pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya, hak demokrasi Pancasila, di bawah undang-undang Dasar empat lima" menjadi sangat akrab di telinga.
Meski saat itu media informasi hanya radio dan itupun di tempat saya kala itu melalu radio transistor yang berdaya baterai, karena listrik belum masuk, tetapi lagu hymne Pemilu saban hari terdengar berulang kali yang menjadikan hampir semua orang hapal.
Dan bagi saya yang masih anak-anak, Pemilu itu adalah sesuatu yang membahagiakan. Apalagi sebagai anak camat saya senang karena waktu itu bapak dapat mobil dinas, sebagian dari kita masih ingat mobil VW safari warna oranye dengan atap kanvas, bagi anak-anak seperti saya kala itu belum mengerti mobil dinas atau apa, yang jelas saya merasa senang karena bapak punya mibil, dimana mobil saat itu hanya segelintir saja orang yang punya.
Meski kala itu masih kecil, tapi yang bisa saya tangkap dari pesta demokrasi saat itu adalah Golkar, yah keseharian saya yang merupakan anak camat tentu yang saya dengar hanyalah tentang Golkar dan Golkar saja, ini setidaknya membuat saya pernah menjadi anak Golkar, bukan hanya karena bapak saya camat, tetapi karena keluarga besar saya adalah militer dan ibu juga seorang pegawai negeri, tentu orang akan paham.
Pemilu berikutnya di tahun 1982, saya juga belum mempunyai hak pilih, masih usia SMP yang saat itu kelas 3. Meski begitu sudah mulai agak paham-paham sedikit tentang politik. Saat itu bapak sudah tidak menjadi camat lagi, pengalaman dan pelajaran paling menarik di Pemilu tahun itu adalah saat penghitungan suara di TPS.
Kebetulan saya tinggal di kompleks perumahan pegawai negeri. Nah, saat penghitungan suara Pemilu saat itu, saya dan teman-teman turut menyaksikan, lucunya ada beberapa surat suara yang jelas-jelas tercoblos PPP tapi disebut dan dihitung sebagai Golkar, dan kalau PDI disebutkan batal, tetapi saat itu tidak ada satupun yang protes, semua berjalan dengan lancar dengan hasil akhir Golkar menang hampir seratus persen, dan PPP dan PDI Nil persen.