Sebagaimana di Jawa dan Bali yang diterapkan PPKM, di kota kami di Kendari juga masuk dalam daftar 43 kota di luar Jawa dan Bali yang harus menerapkan PPKM Mikro yang diperketat, dan salah satu kebijakan yang diambil pemerintah Kota Kendari adalah menghimbau kepada warga untuk melaksanakan ibadah Shalat Id di rumah saja atau dengan kata lain bahwa pelaksanaan Shalat Idul Adha di Mesjid dan lapangan ditiadakan.
Kebijakan ini tentu saja menimbulkan pro-kontra yang hangat di masyarakat, terutama yang kontra tentu saja memprotes dengan keras dan emosional kebijakan ini, narasi-narasi penolakan dengan berbagai macam argumen berseliweran di media sosial.
Saya tentu saja tidak mau terjebak dalam pro-kontra perkara antara Shalat Id di Mesjid/lapangan atau di rumah saja bersama keluarga, saya kembalikan kepada pilihan masing-masing individu, namun bagi saya sendiri tentu saja memilih mengikuti imbauan dari pemerintah. Sebagai Muslim tentu saja menunaikan Shalat Id adalah satu keutamaan, namun dalam situasi dan kondisi pandemi ini tentu saja mengikuti imbauan pemerintah (Ulil amri) juga merupakan suatu keutamaan.
Bagi saya secara pribadi mengikuti imbauan pemerintah merupakan suatu upaya menghindari resiko penularan wabah penyakit yang berbahaya bagi keselamatan orang banyak, dan hal ini tentu saja telah disertai dengan kajian fiqih oleh majelis ulama, kajian medis dan epidemologis oleh ahli kesehatan serta kajian sosial kemasyarakatan.
Saya tidak mungkin memilih menghadapi resiko penularan wabah yang berbahaya ini, dengan argumen pribadi yang dilandasi oleh ketidak tahuan dan mengabaikan kajian fiqih berupa fatwa yang telah diambil oleh majelis ulama yang memang mempunyai kapasitas dan kapabilitas untuk melakukan kajian dan mengambil keputusan.
Sesudah setahun lebih wabah ini melanda, berart telah dua kali Shalat Idul Fitri dan dua kali Shalat Idul Adha kita lalui dalam suasana pandemi.
Bagi kaum muslim, Shalat Id baik itu idul Fitri maupun idul Adha adalah merupakan hari raya keagamaan yang besar, hari kemenangan yang harus disambut gembira, momen Shalat berjamaah yang diikuti oleh banyak orang, bahkan yang sebenarnya berhalanganpun (wanita yang datang bulan) tetap disunnahkan untuk menghadiri Shalat Id, lantunan takbir yang mengiringi langkah kaki menuju lokasi Shalat merupakan kerinduan yang tiada pernah bosan dinantikan setiap tahunnya, ada silaturahmi dan sosialisasi yang kembali terjalin dalam suasana yang hikmat,
bagaimana dianjurkannya perjalanan pergi ke lokasi Shalat berbeda dengan jalan pulangnya, bagaimana sangat dianjurkannya mengeluarkan sedekah saat sebelum apalagi sesudah Shalat Id, disamping itu momen ini sudah menjadi tradisi bagi masyarakat muslim di Indonesia untuk mengisinya dengan hal-hal positif sesuai tradisi dan kebiasaan di masing-masing daerah, kalau di daerah kami tradisinya sepulang Shalat Id mampir ke rumah tetangga atau kerabat untuk ikut "baca-baca", semacam syukuran sambil menikmati hidangan khas lebaran.
Semua kekhasan lebaran itu tentu saja tidak bisa kita dapatkan jika Shalat Id di rumah saja, tapi itulah kenyataan yang harus kita hadapi, karena semua ini merupakan takdir yang telah ditetapkan oleh yang maha kuasa, bagaimana menyikapinya itu adalah sesuai dengan keyakinan masing-masing, namun yang pasti wilayah kita sebagai manusia adalah berikhtiar dengan jalan yang diridhoi oleh-Nya.
Tahun yang lalu, untuk pertama kalinya dalam hidup saya menunaikan Shalat Idul Fitri di rumah saja, bertindak sebagai Imam, sebagai Khatib bagi keluarga kecil saya, Istri dan anak-anak. Memang sebahagian besar "keberkahan" hari raya itu tidak kami dapatkan, namun maha suci Allah, dari semua itu ada momen-momen "sakral" yang kami dapatkan lebih dari yang kami rasakan saat berlebaran dalam kondisi normal, perenungan mendalam yang merasuk jauh ke dalam diri dan sanubari, airmata itu jatuh menetes deras, justru dalam pandemi yang mengharuskan kita membatasi diri dari sesuatu yang bukan saja boleh, bahkan dari sesuatu yang wajibpun kita harus menyesuaikan diri, disinilah saya bisa melihat dan merasakan betapa hambanya kita ini di hadapan Allah, kita bisa sampai dan berada dalam posisi apapun hari ini itu semua tidak lain dan tidak bukan adalah kehendak yang maha kuasa.
Idul Adha tahun lalu, karena kondisi sudah agak melandai, pemerintah kota telah membolehkan Shalat Idul Adha di Mesjid/lapangan dan saya bersama keluarga mengikutinya di Mesjid di lingkungan kami sangat ramai dan meriah, yang walaupun sebagian besar melaksanakannya tetap dengan mematuhi protokol kesehatan, namun tetap juga masih banyak yang abai dan tidak peduli prokes. Terus terang suasana "bathin" yang saya rasakan tidak sedalam dan sehikmat saat Shalat Idul Fitri di rumah.